Kamis, 12 Desember 2013

Soekarno; Hitam Putih Bapak Bangsa

Salah seorang teman saya berkomentar tentang keengganannya menyaksikan sebuah film biografi seorang tokoh besar. Menurutnya, film biografi akan menjadi insult bagi seorang tokoh bila hasilnya kurang memuaskan. Alasan ini menjadi semacam momok bagi film maker untuk mengangkat biografi seorang tokoh ke layar lebar, apalagi tokoh yang diangkat sekelas Soekarno, seorang bapak bangsa, Presiden pertama Indonesia dan juga Proklamator negeri ini. Beban kian bertambah, mengingat sejarah bersifat sangat relatif, tergantung sudut pandang yang diambil. Dengan berbagai kontroversi di sekitar kehidupan Bung Karno, akan cukup sulit bagi pembuat film menentukan sudut pandang yang “aman”. 
  

Tantangan-tantangan itu belum cukup, jika film maker mengambil sudut pandang aman, akan membuat hasil akhir filmnya menjadi kaku, membosankan serta meninabobokan. Penonton tak ubahnya membaca buku pelajaran sejarah sekolah karena filmnya hanya akan berisi kumpulan keberhasilan dan pujian, dengan menjadikan tokoh yang diangkat ke layar lebar bagaikan seorang malaikat tanpa cacat. Saya pun mendadak cemburu dengan Hollywood, yang bisa membuat film tentang mantan presidennya Abraham Lincoln sebagai pemburu vampire.
   

Film dibuka dengan kehidupan Soekarno kecil. Soekemi (Sujiwo tedjo), bapak Soekarno, melakukan tirakat dan merubah nama anaknya Kusno menjadi Soekarno agar tak sakit-sakitan lagi. Cerita kemudian bergulir saat Soekarno remaja (Emir mahira), tumbuh di dalam rumah tempat pertemuan tokoh–tokoh besar pergerakan Indonesia dari berbagai latar belakang. Bapak kostnya, HOS Cokroaminoto, menjadi inspirasinya untuk terjun ke pergerakan politik melawan penjajahan. Di bagian ini, kita juga diajak menengok kehidupan asmara Soekarno remaja. Dia menjalin hubungan asmara dengan seorang noni Belanda, yang berakhir dengan caci maki orang tua kekasihnya itu, hanya karena Soekarno merupakan pribumi.
   

"Saya akan mengalahkan Nippon untuk kamu Fatma"
Cerita belanjut saat Bung Karno (Ario bayu) ditangkap Belanda dengan tuduhan maker. Sang Istri, Inggit (Maudy Koesnadi) berupaya menjalin kekuatan untuk mendukung pembebasan Soekarno. Sebuah pledoi di salah satu peradilannya mengungat kemanusiaan Pemerintah Belanda di Den Haag, segera menarik perhatian masyarakat Indonesia (dan juga dunia). Cerita kemudian bergulir ke masa kehidupan Soekarno di pembuangannya di Bengkulu. Disini kita mulai disuguhkan kisah cinta segitiga antara Sokearno – Inggit  – Fatmawati (Tika bravani). 


Berparalel dengan makin rumitnya cinta segitiga Bung Karno, kondisi bangsanya juga memasuki babak baru saat Pasukan Jepang mengambil alih kekuasaan Pasukan Belanda. Ditengah debat pro-kontra kehadiran Jepang sebagai musuh atau saudara tua, Bung Karno berhasil menyatukannya dengan menggaet tokoh yang berseberangan dengan dirinya Bung Hatta (Lukman sardi)  untuk bekerjasama dengan Jepang.

   
Alih–alih memanfaatkan Jepang untuk meraih kemerdekaan Bangsa Indonesia, Bung karno, dan Bung Hatta justru dijadikan alat propaganda Jepang untuk mengeruk sumber daya dan tenaga orang–orang pribumi. Kekuatan pergerakan kemerdekaan Indonesia kian terbelah, antara para pendukung Bung Karno - Bung Hatta dan para pemuda radikal yang mencap mereka berdua pengkhianat. Di tengah caci maki dan dukungan, Bung Karno dan Bung Hatta memanfaatkan tiap kesempatan kecil, untuk sebuah langkah besar Indonesia meraih kemerdekaan.

   
Di luar kontroversi jalan cerita film ini, saya sangat menikmati film ini. Soekarno digambarkan tak selalu tampil heroik, mengambil semua keputusan secara benar yang menyenangkan semua pihak, laksana sebuah malaikat tanpa noda. Kehidupan asmaranya, dan setiap keputusan yang diambil Soekarno dihadirkan tidak menghakimi. Kita diajak berfikir dan mendalami setiap langkah yang diambil lalu kemudian melihat dia menjalani konsekuensi tiap sikap yang diambil. Yang perlu dikagumi sekontroversi apapun, Bung Karno selalu mendapat tempat di hati rakyat, kawan dan lawannya. 
  

Bung Karno dalam film ini hadir lengkap, tak hanya menunjukkan keulungannya dalam berpolitik, berpidato, berdiplomasi, hingga seorang playboy ulung, menjadikan beliau seseorang yang dekat. Menghadirkan sosok Bung karno yang membumi dan apa adanya bisa berarti ganda. Bagi sebagian orang hal ini bisa dianggap insult, sebagian yang lain (seperti saya) menjadi merasa lebih dekat (dan makin jatuh cinta) dengan beliau. Film ini membuat segalanya tentang sejarah Bung Karno menjadi masuk akal, dibanding cerita heroik yang saya dapat dari buku–buku pelajaran. Film ini mengingatkan saya bahwa beliau juga manusia. Dia dibentuk bukan hanya dari keputusan benar yang dia ambil, tetapi juga karena rangkaian keputusan salah dan bagaimana dia bertanggung jawab menerima konsekuensi.

   

Bung Karno Vs. Ario Bayu

Aktor yang paling bertanggung jawab atas membuminya karater Bung karno adalah Ario bayu. Dia punya daya tarik tetapi bukan tipe pesolek, walau di beberapa scene, saya merasa agak kurang puas dengan bahasa tubuhnya. Ario bayu tidak bermain cemerlang sendiri, Ada Maudy koesnadi yang berhasil memikat saya pada sosok Inggit dan juga Tika bravani yang secara mengejutkan berhasil menghadirkan sisi lain karakter Fatmawi.
   

Hubungan Bung karno dan Bung Hatta ditampilkan amat menarik disini, Simak saat Bung Karno melihat senyum Bung Hatta, obrolan di dalam mobil atau simak saat Bung Karno menolak memulai pembacaan proklamasi tanpa Bung Hatta. Ario bayu dan Lukman sardi sukses menghidupkan persahabatan yang di buku sejarah tampak kaku dan formal. Jangan lupakan Bung kecil, Sutan sahrir (Tanta ginting) yang tampil meletup-letup dengan kritik–kritik pedasnya kepada Bung karno, Sang penyegar Soekarni (Aa jim) dan lusinan karakter yang dihadirkan lebih berwarna.
  

Tak hanya dari departemen akting, department teknis tampil tak kalah cemerlang, baik dari segi art, sinematografi, editing dan musik. Iringan suara dari Rossa, membuat lagu–lagu perjuangan seperti  Indonesia pusaka dan syukur jadi terdengar menggetarkan. Kombinasi dari semua ini membuat sang sutradara, Hanung bramantyo sukses menghantarkan detik–detik proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi suatu peristiwa yang sangat–sangat dramatis. Saya tak pernah bergetar sehebat ini mendengar teks proklamasi dibacakan.
   

Protes tentang karakter dan alur cerita film Soekarno sah–sah saja dilakukan, tetapi saya merasa gaya Hanung Bramantyo ini lebih mendekati selera penonton baru film Indonesia. Selera penonton yang meyakini "Our heroes can be badass too", selera penonton yang kerap disuguhi film Hollywood yang “memanusiakan” superhero komik seperti halnya Batman lewat the dark knight, Superman lewat Man of steel, Spiderman besutan Sam raimi, dan banyak yang lainnya. Rasanya bukan jamannya lagi menghadirkan biografi seorang pahlawan bangsa dengan meninggalkan sisi manusiawinya (baca : sisi kelamnya). Sisi kelam yang dituding propaganda negatif terhadap diri semua karakter dalam film ini, justru membuat saya makin hormat dengan para pejuang negera ini. Kekurangan–kekurangan mereka seakan menjawab hal–hal yang mengganjal saya saat menghafal sejarah negeri ini jaman sekolah. Pertentangan perbedaan pendapat antar tokoh dalam film ini juga membuat saya kagum, mereka saling hujat, tetapi bisa membuat dialog yang konstruktif demi kemajuan negeri.
  

Akhirnya Film Soekarno bisa dianggap sebagai salah satu film terbaik tahun ini. Selain itu, film Soekarno berhasil membuat kebiasaan baru penonton Indonesia, dengan berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia raya sebelum film dimulai.

Nilai : 3,5 / 5

1 komentar: