Sabtu, 21 November 2015

Kisah Cinta dari Kampung Jakarta (Review Film A Copy of My Mind)

Sari (Tara Basro) adalah seorang wanita muda indipenden yang bekerja di sebuah salon murah di Jakarta. Sari menjalankan hidupnya seperti pekerja kelas bawah Jakarta pada umumnya, menghabiskan waktunya di bus-bus reyot yang terjebak macetnya jalanan. Tinggal di kos sempit di antara himpitan gedung-gedung bertingkat, Sari memiliki kebiasaan menonton film dari DVD bajakan yang ia beli setiap pulang dari kantor. Suatu saat kebiasaannya mempertemukannya dengan Alek. 

Alek (Chicco Jericho) adalah seorang pembuat subtitle DVD bajakan. Tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat Sari dan Alek saling jatuh cinta lalu menjalin hubungan. Lalu kita disuguhi kisah romantis terjalin dari gang-gang sempit, pasar kumuh, makanan jalanan di tengah hiruk pikuk musim kampanye pemilihan umum Indonesia. Hingga mereka berdua tak sengaja menemukan video tentang konspirasi politik tingkat atas yang membuat nyawa mereka terancam.

Film ini terpusat tentang bagaimana kita mengenal lebih dekat Sari dan Alek dengan setting yang sangat menarik. Kita diajak melihat potret indah dan realistis dari kesemerawutan diantara kemewahan Jakarta. Lengkap dengan perilaku orang-orang Jakarta, dan juga intrik politik di tengah hiruk pikuk kampanye Indonesia. Tara dan Chicco adalah pilihan yang tepat untuk membawakan karakter Sari dan Alek. Chemistry terjalin kuat untuk menghasilkan sebuah kisah cinta romantis yang boleh saya bilang sangat seksi.



Jika A Copy of My Mind dianggap sebagai film Joko anwar paling ringan itu memang benar. Film ini memang sepertinya berfokus untuk membingkai Jakarta (dan juga Indonesia) pada satu waktu tertentu dan untuk ini, Joko Anwar berhasil. Tetapi, jika berharap mendapatkan suguhan dan mengalami sensasi seperti halnya film-film Joko Anwar sebelumnya, bisa jadi anda akan kecewa.

Rating : 3/5

Jumat, 20 November 2015

Di Balik Stereotipe Wanita Jawa (Review Film Siti)

Film ini cukup unik, hadir dengan format hitam putih dan menggunakan bahasa jawa, Siti lebih membidik festival-festival internasional dari pada tayang di jaringan bioskop Indonesia. Sukses berjalan-jalan di banyak festival film di luar negeri penayangan film ini di tanah air selalu ditunggu para moviefreak Indonesia.

Dalam film (juga di dunia nyata), karakter wanita jawa selalu ditampilkan lemah lembut, pasrah (nriman), setia dan selalu mendukung apapun yang dilakukan suaminya. Melalui film berjudul "Siti" ,produser Ifa isfansyah, sutradara dan penulis skenario Eddie cahyono mencoba mengajak kita untuk melihat lebih dekat dengan karakter wanita jawa.

Film ini menceritakan sehari kehidupan Siti (Sekar sari), seorang istri dari keluarga nelayan miskin di pesisir selatan Yogyakarta. Siti terpaksa menjadi tulang punggung keluarga ketika suaminya, Bagus (Bintang timur) lumpuh karena mengalami kecelakaan di laut. Kecelakaan itu juga turut menghancurkan perahu yang menjadi sumber penghasilan mereka. Siti harus bekerja tak hanya untuk makan sehari-hari, tetapi juga untuk membayar hutang suaminya. Untuk ini dia harus bekerja siang malam sebagai penjual peyek (makanan tradisional jawa) dan juga sebagai pekerja malam di sebuah klub karaoke ilegal. Pekerjaan Siti yang terakhir ini membuat suaminya tidak mau bicara lagi, dan hal ini membuat Siti frustasi.

Siti dan putra semata wayangnya, bagas
Sepanjang film kita diajak melihat dan merasakan beratnya kehidupan Siti. Setelah malam yang berat di tempat kerja, pagi-pagi dia sudah disibukkan mengurus putra semata wayangnya yang bandel juga mengurus suaminya yang lumpuh dan "membencinya". Di antara itu dia masih harus membuat peyek dan kemudian berkeliling menjajakannya bersama sang Ibu mertua. Susahnya menjual makanan tersebut dibalas dengan pemasukan yang tak seberapa. Tak ada waktu untuk fisik Siti beristirahat, dia sudah diserbu berbagai masalah yang pelik.

Alih-alih mengeksploitasi kemalangan hidup Siti, film ini mengajak kita memasuki kehidupan Siti apa adanya. Siti hadir dengan dialog-dialog natural dan dibawakan oleh para pendukungnya dengan pas membuat kita sulit untuk tidak jatuh cinta dengan karakter yang ada di dalam film ini. Tak ada adegan dramatisasi berlebihan, Siti cukup menghadirkan gambar-gambar hitam putih, dengan keheningan dan juga musik yang menyayat untuk membuat penonton kegetiran Siti menjalani hidupnya.


Hingga di suatu titik Siti dihadapkan ke sebuah pilihan, tetap menjalankan kehidupannya yang berat atas nama setia kepada suami yang membencinya ataukah dia harus berkhianat? Selepas anda menyaksikan film ini, anda akan punya pandangan berbeda terhadap sikap "nriman" wanita jawa. Di balik kelemahlembutannya, wanita jawa memliki kekuatan yang lebih besar dari kehidupan wanita indipenden sekalipun.

Rating : 3.5/5

Minggu, 15 November 2015

Agama dan Konspirasi (Review Film 3)

Berbagai adegan kekerasan dan juga aksi terorisme atas nama Agama menjadikan Pemerintah bersikap represif terhadap berbagai kelompok Agama. Dengan alasan yang sama, Masyarakat juga menjadi apatis terhadap Agama. Bagi Pemerintah juga masyarakat Agama hanyalah sebuah parasit yang merusak perdamaian. Hal ini merubah wajah Indonesia, begitu juga merubah kehidupan 3 sahabat kecil bernama Alif, Lam, dan Mim yang tinggal disebuah pondok pesantren.

Kekerasan atas nama agama telah membunuh orang tua Alif, dan tak berapa lama kondisi memaksa pondok pesantren tempat mereka belajar ilmu agama sekaligus tempat mereka memperdalam ilmu bela diri ditutup. Sang guru (Cecep A Rahman) pergi merantau mencari kehidupan baru, hal ini membuat 3 sahabat ini juga memulai kehidupan barunya masing-masing.

Waktu berlalu, di tahun 2036 Indonesia berubah total. Sikap represif Pemerintah terhadap kelompok Agama menjadikan kaum liberal berkuasa. Hal ini membuat ratusan rumah inadah, pondok pesantren ditutup. Sikap apatis masyarakat kepada Agama, juga membuat kaum relijius menjadi kaum yang didiskriminasikan dan dipandang sebelah mata. 

Dendam akan kematian orang tuanya, menjadikan Alif dewasa (Cornelia Sunny) menjadi seorang penegak hukum yang sangat idealis. Dengan alasan untuk menekan kekerasan, para penegak hukum hanya boleh menggunakan peluru karet, membuat ilmu bela diri tangan kosong menjadi hal utama. Di pembukaan film, kita akan disuguhi bagaimana Alif tampil laksana Karakter Rama di film The Raid. Kemampuannya ini menjadikan Alif seorang penegak hukum yang disegani, sayangnya idealismenya menghambat karirnya. Kehidupannya kembali berubah ketika mantan kekasihnya (Prisia nasution) membawanya ke sebuah konspirasi besar

Lam dewasa (Abimana Aryasatya) sukses berkarir dibidang jurnalistik. Bisa dibilang kehidupannya nyairs sempurna, berbagai penghargaan di bidang jurnalistik dia dapat, dia juga punya seorang istri cantik (Tika Bravani) yang selalu mendukungnya, dan seorang putra yang cerdas. Sayangnya karir Lam dalam bahaya, sebagai pemeluk Islam yang taat, membuat pimpinan redaksi tempat lam bekerja khawatir. Masyarakat akan menganggap media Lam tidak obyektif dan tentu saja pemilik modal akan sangat membencinya. Tidak hanya itu, sikap kritis Lam membawa dia menemukan konspirasi besar yang membenturkan penegak hukum dengan kelompok agama. Artinya dia akan melihat 2 sahabatnya Alif dan Mim akan saling bunuh.

Mim dewasa (Agus Kuncoro) tinggal di sebuah pondok pesantren menjalani cita-citanya untuk terus melakukan syiar Agama Islam. Ledakan di sebuah cafe membuat pondok pesantren Mim menjadi target yang dibidik oleh penegak hukum untuk dimusnahkan. Merasa dikhianati, Mim tidak tinggal diam, berbekal ilmu bela dirinya yang tinggi mereka berhadapan dengan sepasukan para penegak hukum sekaligus membawanya ke sebuah konspirasi besar. 

Film 3 dibuka dengan  provokatif. Islam digambarkan sebagai pemicu kekerasan terhadap orang-orang yang dianggap berbeda, serta sebagai pemicu aksi terorisme yang mengganggu perdamaian. Sebuah rangkaian adegan yang mengharuskan film ini membuat peringatan para penonton untuk menonton film ini hingga selesai. Selanjutnya melalui konflik antara Alif, Lam dan Mim, pelan-pelan kita dibawa ke sebuah pertanyaan apakah benar Islam adalah agama yang penuh kekerasan ataua kah mereka hanyalah korban konspirasi?

Cerita konspirasi cukup sering terdengar di sekiar kita, dari obrolan warung kopi, media sosial, hingga ke mimbar Agama. Walau jadi konsumsi sehari-hari, hanya sedikit Film Indonesia yang mengangkatnya sebagai tema. Dari sedikit film yang membawa cerita konspirasi film 3 adalah yang paling berhasil menyampaikannya. Tak hanya punya cerita di atas rata-rata, skenario film 3 juga dipenuhi dialog-dialog aktual menggambarkan berbagai pandangan berbagai kelompok, dari pemeluk Agama konservatif, moderat hingga kaum liberal. 

Berbagai benturan kepentingan kelompok yang berseberangan bisa disampaikan tanpa membuat salah satu kelompok merasa direndahkan. Hingga kita diberi gambaran bahwa konspirasi yang selalu menjadi kambing hitam itu bekerja melalui kebencian dan intoleransi.

Walau bisa dikatakan sebagai salah satu film Indonesia terbaik tahun ini, film 3 bukan hadir tanpa cacat. Kelemahan terbesar film ini ada pada tampilan visualnya. Film 3 begitu berambisi menghadirkan Jakarta di masa depan dengan visual effect yang tampak begitu sangat murahan. Terlebih untuk kita yang telah terbiasa menikmati visual efect film Hollywood. Kelemahan terbesar film 3 bukan menjadi hal yang penting lagi saat di sepanjang film kita dimanjakan action dengan koreo yang apik, cerita dengan twist yang pas, berbagai karakter unik dengan dialog-dialog yang membuat kita merenung akan kondisi saat ini. 

Rating : 3.5/5