Senin, 13 April 2015

Kisah Dalam Secangkir Kopi (Review Film Filosofi Kopi)

Sering kali saya memilih bioskop untuk mengusir kesepian. Saya sering membayangkan, jika bioskop adalah kedai kopi, maka film adalah cerita dari seorang teman yang menemani kita. Dia memberikan sebuah cerita seru yang menghibur, menginspirasi atau sekedar agar kita bisa mengatakan "saya merasakan itu juga". Bioskop selalu memberikan atmosfir yang baik untuk kita terus mendengar cerita dari seorang teman walau kadang cerita tersebut gagal tersampaikan dengan baik. Begitu juga kedai kopi yang baik, dia lebih memilih menyajikan kopi yang enak tanpa fasilitas wifi, agar gadged kita tak bisa mendistraksi cerita yang disampaikan oleh seorang teman. Di film filosofi kopi, tidak ada yang bisa mendistraksi anda dari cerita yang disampaikan oleh sutradara Anga dwimas sasongko ini.

Film ini bercerita tentang 2 orang sahabat yang menjalankan bisnis kedai kopi yang bernama filosofi kopi. Jody (Rio dewanto) menyulap toko kelontong warisan bapaknya menjadi sebuah kedai kopi, sedangkan saudara angkatnya sekaligus sahabatnya Ben (Chico jericho) yang menjadi barista di kedai kopi tersebut. Jody dan Ben memiliki sifat yang bertolak belakang. Jody terkesan kaku, serius, dan ingin menjalankan segala sesuatunya sesuai planning. Sedangkan Ben menjalani hidupnya dengan lebih santai, menganggap segalanya akan baik-baik saja,berani mengambil resiko, tapi idealis dan keras kepala.

Ben adalah seorang barista handal, kopi racikannya menjadi favorit banyak orang. Sebenarnya kedai kopi mereka sudah berjalan cukup baik, akan tetapi hutang ayah Jody yang cukup besar, membuat mereka diambang kebangkrutan. Berkali-kali ide efisiensi Jody untuk meningkatkan pendapatan harus kandas karena keidealisan Ben. Begitu pula ide-ide racikan kopi dari Ben kandas karena tak sesuai budged yang ditetapkan Jody.

Ben dan Jody saling mengetahui sifat mereka berdua yang bertolak belakang dan tak sedikit menimbulkan konflik tetapi mereka masih tampak harmonis. Simak bagaimana Jody tetap bersikukuh mempertahankan kedai kopinya demi Ben, hanya karena dia merasa tak ada orang lain yang tahan memperkerjakan orang seperti Ben. Hal ini yang menghibur kita di bagian pertama film ini. Melihat hubungan mereka berdua layaknya melihat hubungan kirk dan spock di Star trek atau Profesor X dan Magneto (saat muda) di X-men. Tanpa disadari, racikan persahabatan ini menarik kita lebih dalam dan mengikat kita ke semua tokoh dalam film ini.

Di saat mereka ada di ambang kebangkrutan, mendadak munculah seorang pengusaha yang memberi tantangan Rp. 100 juta. Filosofi kopi ditantang untuk bisa meracik kopi terenak, hingga mendapat mendapat pujian dari calon investor pengusaha tersebut. Ben kemudian, melipat gandakan tantangan menjadi Rp. 1 M yang membuat Jody mencak-mencak.
 
Pencarian mendapatkan kopi terenak menghasilkan kopi : "perfecto". Ben dan Jody sudah sangat yakin perfecto adalah kopi terenak di Indonesia, hingga munculah seorang kritikus bernama El (Julie estelle). El membawa mereka menuju ke Gunung Ijen untuk berkenalan dengan Pak Seno (Slamet Rahardjo). Sebuah pencarian yang tak hanya membuat mereka berkenalan dengan Kopi Tiwus tetapi memembuat mereka menengok masa lalu mereka dan berdamai dengan bagian terpahit kehidupan mereka.

Saya sangat tertarik dengan bagaimana film ini menarik penontonnya. Di awal film kita diberi satu fokus tentang bagaimana Jodi dan Ben berbeda cara mengatasi krisis keuangan yang dialami usaha mereka berdua. Hal ini ditampilan dengan penampilan akting brillian Chico jericho (hati-hati Reza...) dan Rio dewanto. Kita diajak tertawa dengan merasakan pahitnya usaha yang mereka jalani, seperti layaknya kopi racikan Ben. Akting duo Chico-Rio makin terlihat bersinar dengan didukung art director, sinematografi, serta musik dan lagu yang mendukung keunikan persahabatan 2 pria ini.Acungan jempol perlu disematkan pada penulis skenario, Jenny jusuf. Skenario ini berhasil menterjemahkan filosofi, quote atau apapun itu dari bahasa sastra menjadi obrolan "normal" kelas menengah warga ibu kota.

Jika Film Tabula rasa membuat saya kecanduan gulai kepala kakap rumah makan padang, maka Filososfi kopi membuat saya ingin menarik seorang teman untuk berbincang tentang masa lalu di sebuah kedai kopi. Entah itu dari kopi nggereng (yang belum tercantum filosofinya di sini) hingga kopi yang lebih mahal dari harga makan malam saya sehari -hari.

Score : 3.5/5

Minggu, 05 April 2015

-Tanpa Judul- (Review Film Melancholy Is A Movement)

Saat dialog absurd antara sang aktor dengan sang sutradara selesai, disusul munculnya nama sang sutradara diikuti para pendukung film muncul di layar, saya masih berharap akan ada 1 adegan lagi yang akan menghubungkan semua cerita di dalam film melancholy is a movement. Harapan saya pudar seiring dengan lampu bioskop mulai dinyalakan. Hal ini membuat saya berjalan keluar bioskop dengan pikiran berkecamuk. Otak saya tak mau berhenti bekerja menyusun berbagai kemungkinan kepingan puzzle  untuk  menemukan sesuatu yang hendak disampaikan dalam film ini. Rangkaian kejadian-kejadian di film ini terlalu indah untuk dibiarkan tercerai berai tanpa alunan cerita yang menghubungkan semuanya. Sebuah cerita untuk menjawab kegalauan si tokoh utama. 

Melancholy is a movement adalah sebuah film yang bercerita tentang seorang sutradara idealis bernama Joko (Joko anwar yang memerankan dirinya sendiri). Dia tampak berduka, murung, berdiam diri karena seakan kehilang sesuatu (atau seseorang). Kedatangan seorang sahabat yang juga seorang aktor Bayu, (Ariyo bayu yang juga memerankan dirinya sendiri) membawa kita ke sebuah misteri dimana tampak Bayu dan Joko tampak mengubur sesuatu (atau seorang). Rangkaian kejadian yang tampak misterius ini rupanya menjadi alasan sang sutradara meletakkan idealismenya untuk membuat film dengan genrenya yang tidak disukainya. 

Melancholy is a movement hadir dengan adegan adegan yang didominasi keheningan yang menggambarkan kemurungan nan misterius dari sang tokoh utama yang selalu hadir datar dan dingin. Hal ini menjadi kekuatan sekaligus titik lemah film, bagaimana film ini harus membuat sang penonton tetap bertahan untuk terus merasakan perasaan murung tanpa diberi penjelasan mengapa perasaan murung itu harus ada, lalu menjadi titik balik kehidupan sang tokoh utama. Film menjadi terasa sangat berat saat film yang berjalan tak linear menghadirkan adegan-adegan nan absurd, bahkan saya tak sanggup memberi judul untuk review film ini, karena tak berhasil menemukan benang merah dalam film ini.

Kekuatan dan sekaligus kelemahan film ini juga terjadi saat film ini mendapuk Joko anwar sebagai sang tokoh utama. Joko anwar memang tak menghadirkan penampilan spesial, tetapi tak ada karakter yang sempurna untuk mengisi sang tokoh utama selain karakter Joko anwar di dunia nyata. Pujian untuk sang sutradara Richard oh, yang mampu menghadirkan keunikan-keunikan dari keterbatasan sang tokoh utama. 

Bagaimana film ini meracik kelemahan sekaligus kekuatan, membuat film ini hadir bukan untuk semua orang. Dia menjadi semacam eksperimental movie walau mungkin saja sang film maker ingin menghadirkan film yang tidak harus melulu seperti apa yang kita lihat. Si pembuat film sendiri tampaknya tahu bahwa filmnya bukan untuk semua jenis penonton. Oleh sebab itu dihadirkan trailer yang seakan memberikan resume cerita untuk penonton awam, serta menghadirkan dunia para filmmaker sebagai background untuk menarik penonton yang disasar film ini yaitu para movie freak. Para movie freak seperti saya yang haus akan film-film yang berbeda dan bersyukur masih ada ruang untuk film seperti ini di layar bioskop Indonesia.

Masih menebak arti adegan ini
Kembali ke cerita film, 2 hari setelah menyaksikan film ini di bioskop, otak saya masih terus menyusun puzzle untuk menginterpretasikan cerita film ini. Fokus saya terpusat pada beberapa adegan, antara lain : adegan obrolan telepon antara sang sutradara Upi yang meminta nasehat soal FTV yang dibuatnya, adegan obrolan Joko dengan seorang pemain Biola, dan adegan saat Joko anwar mengisi sebuah kelas film maker, dan ditutup dengan obrolan sang sutradara bahwa alur tak harus dituntaskan. Adegan - adegan ini membawa saya ke kesimpulan "Melancholy is a movement" adalah film yang sangat lucu.

Film komedi yang mungkin saja mentertawakan orang-orang yang mencoba menginterpretasikannya.

Atau ada yang punya interpretasi lain?

Score : 2.5/5