Sabtu, 16 Juni 2012

Pahlawan yang terlupakan (Review film Soegija)

Sebelum film ini beredar, Saya tak mengetahui sosok Romo Soegija. Mgr. Albertus Soegijapranata lahir 25 November 1886 beliau adalah uskup dari kalangan pribumi pertama yang diangkat oleh Vatican. Banyak yang menyangka, pengangkatan Soegija menjadi uskup hanyalah politik akal-akalan Belanda untuk memberikan citra, mereka memperlakukan pribumi dengan layak. Walau begitu, Soegija menolak menjadi kaki tangan penjajah, beliau melayani umat dengan prinsipnya sendiri tanpa lawan hanyalah kawan. Saya suka prinsip yang dianutnya 100% katolik 100% Indonesia!.

Film dibuka dengan hiruk pikuk di sebuah gereja di Semarang saat prosesi penabisan Soegija menjadi uskup. Di awal film ini kita dimanjakan secara visual. Menghadirkan sudut kota Semarang di tahun 1940, Art, setting, kostum, sinematografi, musik latar, make up, hingga logat para pemain (hadir dalam bahasa jawa & belanda) digarap dengan hasil di atas rata-rata, memperhalus sang sutradara yang mengenalkan serombongan karakter yang akan bermain dalam film ini. Cerita lalu bergulir ke tahun 1942 saat jepang masuk ke tanah air, sebagai saudara tua asia raya yang ternyata justru makin menyiksa kehidupoan rakyat. Di jaman itu saat semua orang terpisah-pisah akibat perang, gereja Romo Soegija dijadikan tempat bernaung. Digambarkan pula bahwa bukan hanya pribumi yang menderita saat Jepang masuk, Jepang juga menyekap para jemaah gereja berikut para susternya, membuat kegiatan pelayanan gereja, rumah sakit, dan panti asuhan lumpuh.

Lingling
Cerita kembali berrgulir di tahun 1945, saat kemerdekaan, alih-alih aman kekacauan terjadi dimana-mana. Tentara Indonesia berusaha mengambil alih situasi, sedangkan tentara jepang berusaha mempertahankan keuasaan tentara sekutu. kekacauan ini memutus roda perekonomian, alhasil rakyat makin kelaparan, dan merasa tidak aman dan lagi -lagi Gereja Soegija menjadi tempat bernaung. Cerita terus bergulir, saat Romo Soegija memindahkan gereja ke Yogyakarta mengikuti pusat pemerintahan. Beliau juga melakukan diplomasi dan berhasil membuat Vatican mengakui kedaulatan Indonesia, yang selanjutnya memicu negara-negara barat melakukannya.

Entah mengapa saya kepahlawanan Soegija seakan terlupa dari sejarah republik ini. Bahwa ada seorang katolik yang sangat teguh memegang prinsip melayani umat, tanpa melupakan bagian dirinya sebagai seorang Indonesia. Film ini juga ingin menghadirkan bahwa perjuangan negeri ini, tidak hanya dihasilkan perjuangan 1-2 orang/kelompok saja, tetapi kerjasama diantara keberagaman. Walau tidak ditampilkan utuh, saya merinding, mendengar perjuangan para tokoh kita saat serangan umum 1maret, jasa orang-orang yang terlupakan republik ini.

Hendrick & Mariyem
Romo Soegija tidak hanya terlupakan oleh sejarah nengeri ini, tetapi juga terlupakan di film ini. Film ini menghadirkan serombongan karakter yang saya sendiri tak tahu apa esensinya, dan malah melupakan tokoh sentral disini. Terdapat tokoh Mariyem yang bercita-cita sebagai suster, dan harus kehilangan kakaknya, yang bergerilya melawan Jepang, Belanda & Sekutu. Terdapat pula Ling-ling, seorang katolik Tionghoa yang kehilangan ibunya, dan hak pengakuannya sebagai warga pribumi. Terdapat pula Hendrick seorang wartawan Belanda yang jatuh cinta pada mariyem. Ada pula sepasukan pemuda yang bertransformasi menjadi tentara gerilyawan, juga Pak besut penyiar radio perjuangan, yang menyajikan latar kejadian sejarah. Terdapat pula Robert, tentara Belanda yang kejam, yang seharusnya punya klimaks saat dia menemukan bayi, dan sepertinya ada lagi yang lain.....maaf jika terlupakan. Sebenarnya film ini punya sinematografi diatas rata-rata, sang sutradara bisa menangkap 2 kejadian penting dalam satu frame, tanpa meninggalkan emosi kedua kejadian itu. Dengan modal itu seharunsya hadirnya banyak karakter menjadi tak masalah, tapi entahlah ada yang terlewatkan disini.

Saya tidak bisa menghakimi akting Nirwan dewanto sebagai seorang romo, mengingat saya sendiri tak begitu akrab dengan sosok seorang romo. Dari hasil searching foto-foto lama Romo Soegija, saya menebak romo Soegija tidak sedingin karakter yang dihadirkan Nirwan dewanto. Kedinginan karakter Nirwan dewanto sedikit terselamatkan dengan karakter Toegimin (butet kertaradjasa), simak selorohnya soal "Romo yang tidak boleh menikah". Kedinginan karakter Soegija juga menular di keseluruhan karakter, membuat film ini kekurangan emosi. Film ini tidak mengijinkan saya terharu lebih dalam, menangis, walau film ini punya bahan untuk itu. Alur hadir tanpa ada klimaks yang untungnya di bayar dengan keindahan visual, & juga musik-musiknya yang memorable. Dari film ini, seakan kita diberi tahu bahwa bangsa kita dulu adalah bangsa yang suka menyanyi apapun kondisinya, salut atas duet anggrek merah (CMIIW) dalam bilingual.

Dengan tampilan visual yang meyakinkan, Film Soegija saya beri nilai  2 dari nilai max 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar