Senin, 01 Desember 2014

7 hari/24 Jam; Ada Apa Dengan Wanita Karir?

Setelah kita disuguhi penampilan Dian satrowardoyo sebagai seorang penyanyi dangdut di film "3 doa 3 cinta" di tahun 2008, praktis kita kehilangan salah satu Indonesian sweetheart di layar lebar film Indonesia. Film itu menjadi film terakhir Dian sastrowardoyo sebelum akhirnya vakum dari layar lebar. Setelah vakum, Dian Sastrowardoyo makin mematahkan hati para pria pemujanya (termasuk saya) saat dia menikah pada tahun 2010. Di tengah kevakumannya dari layar lebar, penggemarnya tak berhenti bertanya seperti apakah seorang aktris cantik, pintar, dan penuh dedikasi saat menjadi seorang istri dan ibu? Bagi saya film 7 hari 24 jam menjawab pertanyaan itu.

Tania wulandari (Dian sastrowardoyo) adalah seorang wanita yang sukses menjalankan peran ganda (atau mungkin triple), sebagai seorang ibu, wanita karir dan juga "manager" bagi suaminya. Disini kita disuguhi potret wanita karir yang akrab kita temui di kota besar. Setiap pagi, Tania sudah bergelut untuk menyiapkan kebutuhan putri semata wayangnya Danyang untuk pergi ke sekolah, lalu bergelut dengan berbagai proyek besar di kantor, sambil memastikan sang suami baik-baik saja. Selepas dari kantor, dia kembali menjadi seorang ibu yang membacakan dongeng untuk sang anak sembari mengingatkan sang suami untuk tak terlalu keras dalam bekerja. Untung ibu Tania (Minanti atmanegara) tinggal bersama mereka, dan turut  membantu mengurus Danyang serta memasakkan makanan favorit sang suami.

Suami Tania, Prasetyo (Lukman sardi) adalah seorang sutradara handal, yang sedang sibuk syuting film terbarunya. Sikapnya yang keras kepala, idealis dan berharap semua scene berjalan sempurna menjadikan proses syuting berjalan lebih panjang dari yang direncanakan. Prasetyo pun rela menginap di tempat syuting demi agar filmnya sesuai dengan apa yang diinginkan dan bisa selesai tepat waktu. Hingga, Prasetyo pun jatuh pingsan di lokasi syuting.
 
Kesibukan Tania pun berlipat-lipat, di saat harus menyelesaikan satu proposal proyek penting yang akan melambungkan karirnya, dia juga harus merawat sang suami di rumah sakit. Tak hayal, keadaan ini pun membuat Tania juga harus dirawat di rumah sakit, satu kamar dengan suaminya.


Dalam perawatan dr. Hengky (Hengky Solaiman) dan dr. Verdi (Verdi Solaiman), Prasetyo dan Tania diperintahkan untuk beristirahat total dan tak boleh bekerja. Hal mudah ini tentu saja menjadi hal yang sulit untuk dijalankan 2 pasangan workaholic ini. Prasetyo memintah 2 asisstennya untuk melaporkan setiap scene yang mereka ambil, sedangkan Tania tak begitu saja melepaskan kesempatan peningkatan karirnya melalui proyek yang ia kerjakan dan juga pekerjaannya sebagai seorang istri yang memastikan suaminya beristirahat total dan tak bekerja selama dalam perawatan. Lalu konflikpun timbul

Film 7 hari 24 Jam punya premis yang sangat potensial untuk digali lebih mendalam. Film ini punya sumber konflik dari diri Tania yang mati-matian menyeimbangkan perannya sebagai wanita karir yang memegang peranan sentral dalam proyek, sebagai seorang istri yang memastikan sang suami untuk bisa beristirahat total, sekaligus seorang ibu yang tak bisa hadir dalam kehidupan sang anak. Tapi film 7 hari 24 jam memilih hadir lebih ringan, dengan menghadirkan konflik dengan amat sederhana. Kita hanya melihat Tania berbicara klise dalam mengarahkan timnya untuk menyelesaikan proyek. Tania melarang suaminya bekerja sambil dirinya sendiri bekerja, membuat larangan Tania terkesan sebuah penyataan basa-basi. Konflik sang ibu-anak hanya dihadirkan saat Danyang yang "ngambek" dan bertanya kepada Tuhan "mengapa Ibunya tidak pulang", itupun diselesaikan dengan pernyataan Ibu Tania "nanti dia akan baik sendiri"
  
Film 7 hari 24 jam lebih memilih untuk menjadi seperti halnya film Before surise/before sunset, yang membangun cerita melalui obrolan Tania dan Prasetyo tentang definisi cinta dan arti pernikahannya selama 5 tahun. Di sini, Kita diajak melihat masalah seorang suami kebanyakan, dimana Prasetyo bangga punya istri yang bisa mendukung karirnya tapi dia kesulitan menunjukkan dukungan kepada karir istrinya. Alih-alih menunjukkan dukungan untuk karir sang istri, Prasetyo justru "cemburu" dengan karir sang istri yang lebih cerah. 
  
Ide membangun cerita melalui obrolan ringan suami istri dalam satu ruangan di rumah sakit hampir menjadi bumerang bagi film ini. Kita belum punya penulis sebrilian Richard Linklater yang bisa mempertahankan kesegaran cerita dengan ruangan yang sangat terbatas. Sebagai penyelamat kesegaran film 7 hari 24 jam menghadirkan komedi-komedi slapstik seperti hubungan unik dr Hengky dan dr. Verdi, HAV yang diplesetkan menjadi HIV, tingkah seorang ustadz yang salah kamar, pria pengharum ruangan, atau bagaimana Prasetyo yang harus kucing-kucingan untuk bisa meeting dengan 2 assistennya (Indra birowo dan Husein Idol). Saya mengakui kehandalan sang sutradara Fajar nugros dalam mempresentasikan komedi penyegar cerita, akan tetapi hadirnya adegan-adegan slapstik ini mengurangi fokus dari isu yang paling menarik dari film ini.
  
Terus terang, Dian satrowardoyo adalah faktor utama (dan mungkin banyak penonton lain) saya untuk datang ke bioskop. Film ini jadi ajang come back Dian ke layar lebar setelah vakum 6 tahun lamanya. Alasan saya tak salah, Dian sastrowardoyo sukses menjadi kekuatan film ini, ia tak kehilangan daya pikatnya dalam berakting didepan kamera. Kita disuguhi bagaimana seorang wanita cantik, pintar dan penuh dedikasi menjalankan perannya sebagai seorang ibu, istri, dan wanita karir. Kita melihat bagaimana gigihnya Tania memenuhi semua tuntutan kepadanya, dia memastikan hasil kerjanya memuaskan bosnya, memastikan sang anak mendapat dongeng sebelum tidur, sekaligus bagaimana dia berupaya untuk menjaga komunikasi dengan sang suami yang sama-sama super sibuk, tak peduli itu akan menguras tenaga dan kesehatannya. Karakter Tania seakan menjadi jawaban akan penggemar yang penasaran akan kehidupan pribadi Dian satrowardoyo saat menjadi istri dan ibu. Karakter Tania yang cantik, tapi tak pernah ragu untuk tidak tampil cantik juga lebih mendekati karakter Cinta (Ada apa dengan cinta, 2002) setelah 12 tahun berlalu dibanding reuni Ada apa dengan cinta yang dihadirkan Line. Yang paling membuat saya terkesan dengan karakter Tania adalah dia dihadirkan untuk mengetuk hati ditengah dominasi pria yang menuntut peran total istri untuk mendukung suami dan mengurus keluarga.
 
Score : 3/5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar