Rabu, 13 Februari 2013

Habibie & Ainun: Icon Baru Romantisme Indonesia



Sebelumnya saya hanya mengenal Bacharudin Jusuf Habibie sebagai seorang Insinyur pesawat hebat, yang gagal menjual hasil karyanya, atau sebagai seorang Presiden yang melepas wilayah negaranya. Tokoh negatif? Anggapan saya tentang Habibie selama ini bisa jadi salah, toh kebenaran itu bisa bersifat relatif, tergantung pada waktu dan dari sudut pandang mana kita melihat seorang tokoh. Di tulisan ini saya tak ingin membahas Habibie sebagai seorang insinyur atau seorang presiden transisi, saya ingin melihat sosok Habibie secara personal seperti yang ingin ditampilkan film ini, sebagai pasangan yang romantis

Sebelumnya, rasanya mustahil saya melihat sisi romantisme dari habibie. Jangankan hal – hal yang berbau romantis, saya bahkan tak percaya ada joke yang bisa keluar dari seseorang yang selalu berapi-api, mimik serius, dengan mata melotot setiap berbicara. Saya sampai skeptis mendengar rencana dibuatnya film drama romantis berdasarkan kisah nyata Habibie & Ainun. Terlebih, Reza rahardian terpilih memerankan karakter Habibie, yang notabene punya fisik yang jauh berbeda dengan Habibie.

Film di buka saat Habibie muda menjelaskan suatu teori, didepan insinyur-insinyur Jerman yang diam-diam terpukau, hingga dia jatuh pingsan dan diketahui mengidap penyakit dunia ketiga. Kejeniusan & kegandrungan Habibie akan teknologi sudah terlihat saat dia masih duduk di bangku sekolah. di saat itu Ainun, hanyalah saingan berat Habibie di kelas. Belum ada benih – benih cinta, karena Habibie kecil lebih memilih jadi si kutu buku dari pada membuat kisah kasih di sekolah.  

Bertahun-tahun kemudian cinta tumbuh di keduanya, saat itu Habibie yang telah berkuliah di Jerman sedang pulang Indonesia. Dia mendapati, saingan beratnya di sekolah telah berubah menjadi seorang dokter cantik. Dari sini kita diajak menikmati romantisme remaja di tahun 60an. Mulai dari bagaimana Habibie menaklukan saingannya dengan amat sangat elegan, menaklukan hati orang tua Ainun, hingga bagaimana kedua pasangan ini berkencan di masa itu, dimana ciuman pertama bisa terjadi diatas becak yang sedang diguyur hujan.

Habibie kemudian menyuntingnya dan memboyongnya Ainun ke Jerman. Mereka menjalini rumah tangga baru mereka di negeri asing, jauh dari keluarga, serta dalam suasana keterbatasan. Tapi, lagi – lagi, kekurangan menjadi bumbu romantisme yang paling yahud. Di bagian ini kita diajak, bagaimana cerita romantis bisa terbangun dari kehidupan di flat kecil bersama sang istri yang rindu rumah,atau di saat sang istri gagal memasak,atau di saat dua pasangan tropis ini melalui kejamnya musim dingin di Jerman.

Di saat sulit, Hanya harapan yang bisa membuat mereka bertahan. Janji Habibie untuk membuatkan Ainun sebuah pesawat, hingga mimpi Habibie membangun Industri hi-tech di Indonesia menjadi sumber kekuatan pasangan muda ini unuk menghadapi masalah – masalah mereka.
    
Berbagai sederet prestasi Habibie di Jerman membawanya dipanggil pemerintah orde baru untuk membangun teknologi & industri hi-tech Indonesia. Habibie & keluarganya pun kembali ke tanah air dan memulai membangun IPTN. Mendapat kepercayaan yang besar dari Pemerintah Soeharto, tidak serta merta memuluskan Habibie mewujudkan mimpinya. Dalam mewujudkan berbagai impiannya tak sedikit dia harus berhadapan dengan calo & politisi busuk, tetapi idelisme menghantarkan dia menggapai puncak karirnya.

Di era puncak karir Habibie, romantisme muncul dari bagaimana Ainun melihat suaminya masih seperti anak – anak yang perlu ingatkan untuk makan saat asyik bermain mereka masih muncul. Salah satu scene menarik, saat Ainun memarahi Habibie sebagai seorang Presiden, agar mau tidur. Sayangnya saat asyik mengejar mimpinya habibie hampir melupakan dan mengabaikan Ainun,istrinya.
    
Dengan durasi film kurang dari 2 jam, film Habibie & Ainun terlalu berambisi menghadirkan masa kehidupan Habibie – Ainun dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun. Untuk mengatasi padatnya cerita, film ini sudah tepat untuk lebih memilih berfokus pada romantisme di setiap jaman, sedangkan rangkaian momen sejarah ditampilkan sambil lalu. Disisi lain, berbagai momen sejarah yang ditampilkan sambil lalu justru mengusik rasa keingintahuan sebagian penonton (saya). Sehingga, beberapa penonton (seperti saya) merasa film ini tampil dangkal.itu bukan masalah besar, karena kekuatan film ini hadir dari kisah romantisme sehari – hari Habibie – Ainun dalam menjalani tahapan hidup mereka.

Jika dulu Indonesia punya ikon romantisme Galih dan Ratna, atau Rangga dan Cinta, kita sekarang punya Habibie dan Ainun. Hebatnya lagi ikon romantisme baru Indoensia sekarang adalah tokoh nyata. Film ini diangkat dari sebuah buku yang ditulis sendiri oleh Habibie sebagai terapinya saat dia merasa kesepian ditinggal istri tercinta. Tak disangka terapi ini justru menjadi salah satu legenda kisah cinta Indonesia.

Bisa saya katakan, kekuatan film ini ada pada kekuatan akting Reza rahardian yang mampu menjawab keraguan publik dimana fisik reza rahardian awalnya dianggap “terlalu baik” untuk karakter Habibie. Tak disangka,, Reza rahardian bisa menampilkan bahasa tubuh khas Habibie yang membuat kita tak lagi mempermasalahkan dia terlalu tinggi atau terlalu ganteng atau erlalu kurus untuk Habibie tua dan lain sebagainya. Sebuah kerja keras yang pantas diacungi jempol, karena bisa merubah sikap skeptis saya terhadap Habibie secara personal.

Ainun & Hab
Sebagai pasangan Reza rahardian,, Bunga citra lestari tidak bisa dikatakan tampil buruk, penampilannya adalah alasan manisnya cerita cinta ini. Sayangnya, Bunga citra lestari tak kuasa mengimbangi perhatian penonton saat harus berbagi layar dengan Reza rahardian. Bahkan pada beberapa moment, saya tak lagi merasakan kehadiran karakter Ainun. Saya masih bisa merasakan bagaimana kegaulauan Ainun tinggal jauh dari negerinya, tapi saya tidak merasakan kegaulauan Ainun, saat sang suami sedang tergila-gila dengan mimpinya dan hampir mengabaikannya, kita tak juga mengetahui apa yang dirasakan Ainun saat media mencap suaminya dengan sebutan “gila”. Aksi reza rahardian merebut semua perhatian scene di film ini, juga hampir melupakan kehadiran anak – anak Habibie & Ainun.
  
Untuk film dengan menampilkan periode 50 tahun, art director & tata make up akan memiliki peran besar. Saya masih bisa merasakan secuil suasana romantis Kota Bandung di tahun 60a, tetapi selebihnya itu setting film tampil tanpa kekhasan dimensi waktu dan ruang, bahkan iklan-iklan mengaburkan itu semua.

Saya memaklumi teknologi make-up kita tertinggal jauh dengan Hollywood, seperti yang ditunjukkan dalam film Curious case of Benjamin button, atau di film Iron lady. Tim make-up film Habibie & Ainun sudah bekerja cukup baik mempermak wajah Reza rahardian dan Bunga Citra Lestari, walau saya merasa wajah Reza kian terlihat mudah di akhir film. Saya sempat tergelak melihat foto Reza rahardian yang disandingkan dengan foto Suharto, saat scene Habibie diangkat menjadi wakil presiden. 
  
Akhirnya, Film Habibie & Ainun memang bukan film  Indonesia terbaik, tetapi film ini wajib disaksikan untuk yang mencari referensi film romantis Indonesia.

Nilai : 2,5 dari nilai maks 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar