Senin, 20 Februari 2012

Mencicipi sensasi menonton film bisu (Review film The Artis)

Di era film bisu, George valentine (Dean dujardin) adalah actor no 1 hollywood. Apapun tindakannya selalu mendapat perhatian khalayak luas, seperti halnya saat dia dicium seorang gadis muda misterius bernama Peppy miller (Berenice bejo), Sensasi berita itu mengalahkan perhatian public kepada filmnya sendiri (sound familiar). Berbeda dengan Miller, sensasi itu menjadi pintu masuk bagi dirinya untuk memasuki Hollywood, ditambah sedikit bantuan George, makin terbuka peluang karir Miller di Hollywood.

Hingga akhirnya era film bisu berakhir dan pesona George valentine meredup. Film yang dibiayainya jeblok dipasaran. Kejadian ini mengakibatkan dia bangkrut, jatuh miskin, hingga ditinggalkan istrinya. Di sisi lain era film bicara menjadi trend mengangkat pamor Peppy miller. Di suatu wawancara Peppy miller menjawab pertanyaan, tentang alasan public mengidolakan dirinya : “karena dia bisa berbicara” menyinggung George valentine.

Merasa bersalah, Peppy miller diam-diam menyokong ekonomi George. Miller membalas jasa dengan menyiapkan comeback George ke Hollywood, tapi produser menolak dengan alasan era film bisu telah lewat. Hingga Akhirnya Peppy miller punya ide menyatukan film bisu dan film berbicara : Musikal!

Di tengah serbuan film 3D, cukup menyegarkan melihat film bisu hitam-putih, Tanpa dialog, praktis acting pemain & score menjadi tumpuan film ini, dan berhasil dieksekusi oleh Michael hazanavicus  Penampilan trio Bernice bejo - Dean dujardian & Jack the dog (atau uggie ya namanya?) tampil menguasai layar di sepanjang film, sehingga tak heran anjing ini selalu tampil di panggung saat cast the artist menerima award, seperti golden globe lalu.

Saya harus berterima kasih kepada produser film ini, karena tanpa “The artist” saya tidak akan mengalami asyiknya era film bisu baru. Uniknya menonton film bisu, adalah fantasi kita bisa menjadi lebih berjalan kreatif, dan persepsi tiap-tiap orang bisa berbeda. Perebedaan persepsi tiap scene bisa jadi perbincangan menarik pasca keluar dari bioskop. Seperti contohnya : “apa yang menyebabkan George langsung menerima Peppy, padahal hampir di separo film kita disuguhi bagaimana George tidak pernah percaya kebaikan peper?” …. 

Sayangnya untuk beberapa orang, menonton film bisu itu membuat “capek” jika tidak mau disebut ketiduran, terutama dibagian menjelang akhir cerita. Tetapi itu hanya masalah selera penonton, kita lihat tanggapan penonton Indonesia saat film ini diputar di bioskop Indonesia. Tema film ini bisa menyentil industri hiburan Indonesia yang lebih ke arah “ikut-ikutan”, modal sensasi dan minim inovasi”. Satu lagi trivia, tak ada adegan zoom in andalan film Indonesia di film ini

Film terbaik ? Jika dibuat pada masanya, mungkin film ini tampil tidak se-wah saat ini, film the artist seakan menjadi oase di tengah serbuan film yang berlomba pamer visual effect & 3D, sekaligus menenangkan para actor & aktris, yang merasa khawatir terancam oleh teknologi CGI, saat film Avatar dinominasikan sebagai film terbaik 2 tahun lalu…
Nilai : 4 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar