Sabtu, 11 Mei 2013

Cinta Brontosaurus; Kisah Kegalauan Hati Raditya Dika

Waktu kecil, saya berfikiran bahwa kelak saat saya menemui seseorang yang saya sukai, saya tinggal menyatakan cinta, diterima, pacaran, menikah, dan bahagia selamanya. Sayangnya hidup tak semudah itu. Begitu juga seperti yang dialami Raditya dika, Bahwa mencari orang yang mau menerima cintanya itu hal yang susah, dan begitu mendapatkan orang yang mau menerima cintanya, mempertahankan hubungan dengan pacarnya juga tak kalah susahnya. Kemalangan-kemalangannya dalam upayanya mencari pasangan hidup ini ia tuangkan dalam buku berjudul Cinta Brontosaurus yang diangkat dalam layar lebar. Apakah akan jadi sebuah cerita yang kelam? Dalam suatu musibah, tambahkan waktu… dan Raditya dika maka segalanya akan berubah menjadi komedi.
   
Film brontosasurus seakan terbagi menjadi 3 bagian yang berjalan bersama, bagian pertama tentang usaha Raditya dika (diperankan Raditya dika sendiri) memperjuangkan cintanya, bagian kedua tentang usahanya menyelamatkan naskah bukunya dari produser film “kancrut”, dan bagian ketiga tentang hubungan dengan agennya bernama  kosasi (Soleh solihun) yang juga jadi jembatan bagian pertama dan kedua.
  
Kegagalan raditya dika dalam menjalin hubungan, membuatnya menjadi seseorang yang tak bisa mengerti wanita, dan sinis terhadap suatu hubungan dengan lawan jenis. Hubungan terakhirnya bersama Nina (Pamela bowie) menjadikan dia enggan untuk memulai hubungan percintaanya lagi, karena dia seakan-akan tahu bagaiamana hubungannya akan berakhir. Baginya cinta itu memiliki kadaluarsa. Beruntung, dia punya orang tua (Ade irawan & Bucek depp), dan Kosasi yang terus memberikan dukungan untuk tidak menyerah mencari pasangan hidup, Hingga seorang kerabat jauh ibunya yang tetap single di usia lanjut memberikan ketakuan sendiri kepada Raditya dika.
  
Singkat kata dia bertemua Jessica (Eriska rein), seorang gadis yang dia anggap berbeda dari gadis kebanyakan. Punya fantasi sama, jalan pikiran sama, membuat keduanya bisa dengan cepat akrab. Awalnya hubungan mereka berjalan sangat baik, hingga Jessica menyadari bahwa kekasihnya masih memegang prinsip “cinta punya masa kadaluarsa” yang berarti tak ada masa depan untuk hubungan serius bagi mereka berdua. Masalah-masalah kecil kian jadi pelik, hingga mereka menyadari mereka punya keluarga yang bertolak belakang., dimana keluarga Jessica (Merriam bellina & monyet peliharaannya bernama Richard) yang terkesan glamour dan nyentrik, bertolak belakang dari keluarga Raditya dika yang tergolong sederhana dan ceplas ceplos, yang sepertinya berusaha tampil seperti disfungsional family.
  
Film ini kita diajak melihat Raditya dika mencurahkan kegalauan atau rasa frustasinya melihat hubungan percintaannya, melalui rangkaian scene miris yang mengelitik, yang lebih menghadirkan senyum dibalik rasa iba. Tak hanya curhat, Raditya menunjukkan apa saja yang membuatnya sinis terhadap hubungan percintaan, mengulitinya, menganalisa satu persatu sedetail mungkin, hingga bagaimana dia menemukan titik temunya. Rangkaian prosesi ini seakan membuat film ini bagai sebuah tutorial : “How to solve relationship problem for dumb”, tentunya dalam artian positif. 
  

Film ini hadir lebih baik dibanding film dari buku pertamanya, kambing jantan. Film Cinta Brontosaurus terlihat sangat “Raditya dika”.Para penonton diajak masuk kedunianya, melihat bagaimana cara dia memandang hidup, wanita, dan menemukan solusi permasalahan hidupnya. Segalanya akan terasa akrab bagi follower twitter, atau pengikut channel you tube -nya. Sayangnya ini justru sekaligus menjadi titik lemah film ini, komedi Cinta brontosaurus jadi cenderung segmented bahkan beberapa orang yang tidak akrab dengan komedi ala Raditya dika menilainya sebagai komedi yang gagal.
  
Satu hal yang menjadi kekuatan komedi Raditya dika yang juga termasuk kekuatan film cinta brontosaurus adalah upaya mentertawakan diri sendiri. Lihat saat kita diajak tertawa melihat bagaimana dia diputus pacar - pacarnya, atau saat menunjukkan bahwa dia itu cemen tapi lucu,  atau simak saat obrolan ala keluarga Raditya dika di meja makan. Raditya menulis kehidupannya (plus bumbu fiksi tentunya) dan mengajak kita tertawa bersama. Kekuatan lain dari komedi Raditya dika adalah keunikan cara dia melihat tingkah orang – orang di sekitarnya. Tentu yang akrab dengan stand-up comedy tak asing dengan model komedi seperti ini, tetapi Dia yang pertama mengangkatnya dalam suatu film.
  
Komedi seperti ini adalah komedi tak biasa di Indonesia yang tiap malam dihujani komedi merendahkan orang lain atau pukul – pukulan strereofoam, melalui tayangan – tayangan live di televisi. Salut untuk Raditya dika yang masih mempertahankan idelisnya ini dan bertahan di jalur indie dengan membentuk fan basenya sendiri lewat jalur social media. Kekuatan fan base Raditya dika ini bisa dilihat dari jumlah penonton Cinta Brontosaurus yang sampai bulan November ini tercatat sebagai film terlaris tahun ini. Mungkin idealismenya ini yang membuat mengapa film dari buku pertama dan kedua berjarak jauh. Saya katakan mungkin, karena disinggung di bagian kedua film ini. menceritakan upayanya menyelamatkan idealisme cerita brontosaurus.
   
Mr Sue, adalah seorang produser film laris yang berniat mengangkat buku Raditya dika ke layar lebar. Sayangnya film – film produksinya adalah kisah cinta Pocong dan Suster ngesot, Suster push-up, saya menyebutnya sebagai film kancrut. Karakter Mr. Sue, seakan memparodikan produser - produser film yang menangkap mentah-mentah selera pasar. Produser yang menangkap selera pasar akan film horror yang beda dengan menampilkan hantu seabsurd mungkin, atau produser yang menangkap selera pasar yang ingin film bagus dengan menampilkan film dengan masalah mendalam tak masuk akal. Parahnya lagi seabsurd dan sekancrut film yang dikeluarkan produser-produser ini, filmnya masih laku di pasaran, bahkan mengalahkan film-film yang dibuat serius. Di sini tanpa sadar, Raditya Dika seperti mengajak penonton Indonesia mentertawakan dirinya sendiri.
  
Film Cinta Brontosurus tidak hanya diisi idealism raditya dika, baik isi maupun cara komedi.film ini berusaha menggaet penonton ‘awam” dengan menghadirkan karakter Kosasi. Kosasih memiliki seorang pacar yang akhirnya dia nikahi bernama wanda (Tyas mirasih) Masalah timbul saat cinta kosasih ke wanda menjadi sebuah cinta buta. Gaya hidup boros sang istri membuat kosasih melupakan idealism bahkan berani menghianati sahabatnya sendiri. Sebenarnya masalah Kosasih ini akan dibuat “tutorial”-nya tersendiri di dalam film Raditya dika berjudul Cinta dalam kardus. Kehadirian kosasih memberikan guyonan slapstick komikal yang jadi menyeimbang guyonan segmented ala Woody allen (minus romantisnya) yang ditampilkan Raditya dika. Kehadiran Kosasi ini dimainkan baik oleh Soleh solihun, sayangnya karakternya tidak berjalan mulus. Sebagian berhasil sebagai penyegar, sebagian malah tampak terlihat mengganggu. Simak scene Kosasih yang harus memakai handuk karena celananya terbakar, atau simak saat Kosasih mengartikan kostum berbeda dengan memakai kostum Indian, scene scene itu lebih tampak mengganggu dari pada lucu.
  
Dibanding karakter Kosasi, Saya justru merasa lebih segar menikmati kehadiran Edgar, adik Raditya dika. Penampilan Edgar yang muncul disaat – saat tak terduga dengan masalah –masalah anehnya lebih bisa membuat penonton awam tertawa lepas, walau kadang adegan-adegan ini kurang tereksekusi dengan baik.
  

Akhirnya, Film ini seperti sangat Raditya dika, bahkan minus plus film ini tidak saya tujukan pada Fajar nugros sang sutradara ataupun para pemain, karena bagi saya (yang juga follower Raditya dika) seluruh elemen film ini seperti menggambarkan yang Raditya mau. Saya setuju komedi Raditya dika ini hadir segmented, khususnya untuk abg - abg followernya. Untuk penonton diluar segmennya film ini hadir nanggung, terlalu cheesy untuk penonton matang (baca ; tua) dan terlalu “berat” untuk anak-anak muda (non followernya). Tapi, saya melihat ada potensi besar yang dimiliki sang penulis, bahwa Indonesia tinggal menunggu waktu untuk punya seorang Woody Allen.

 Nilai : 3 dari nilai max. 5