Waktu kecil, saya
berfikiran bahwa kelak saat saya menemui seseorang yang saya sukai, saya
tinggal menyatakan cinta, diterima, pacaran, menikah, dan bahagia selamanya. Sayangnya
hidup tak semudah itu. Begitu juga seperti yang dialami Raditya dika, Bahwa
mencari orang yang mau menerima cintanya itu hal yang susah, dan begitu
mendapatkan orang yang mau menerima cintanya, mempertahankan hubungan dengan
pacarnya juga tak kalah susahnya. Kemalangan-kemalangannya dalam upayanya
mencari pasangan hidup ini ia tuangkan dalam buku berjudul Cinta Brontosaurus
yang diangkat dalam layar lebar. Apakah akan jadi sebuah cerita yang kelam?
Dalam suatu musibah, tambahkan waktu… dan Raditya dika maka segalanya akan
berubah menjadi komedi.
Film brontosasurus
seakan terbagi menjadi 3 bagian yang berjalan bersama, bagian pertama tentang
usaha Raditya dika (diperankan Raditya dika sendiri) memperjuangkan cintanya,
bagian kedua tentang usahanya menyelamatkan naskah bukunya dari produser film
“kancrut”, dan bagian ketiga tentang hubungan dengan agennya bernama kosasi (Soleh solihun) yang juga jadi
jembatan bagian pertama dan kedua.
Kegagalan raditya
dika dalam menjalin hubungan, membuatnya menjadi seseorang yang tak bisa
mengerti wanita, dan sinis terhadap suatu hubungan dengan lawan jenis. Hubungan
terakhirnya bersama Nina (Pamela bowie) menjadikan dia enggan untuk memulai
hubungan percintaanya lagi, karena dia seakan-akan tahu bagaiamana hubungannya
akan berakhir. Baginya cinta itu memiliki kadaluarsa. Beruntung, dia punya
orang tua (Ade irawan & Bucek depp), dan Kosasi yang terus memberikan
dukungan untuk tidak menyerah mencari pasangan hidup, Hingga seorang kerabat
jauh ibunya yang tetap single di usia
lanjut memberikan ketakuan sendiri kepada Raditya dika.
Singkat kata dia
bertemua Jessica (Eriska rein), seorang gadis yang dia anggap berbeda dari
gadis kebanyakan. Punya fantasi sama, jalan pikiran sama, membuat keduanya bisa
dengan cepat akrab. Awalnya hubungan mereka berjalan sangat baik, hingga
Jessica menyadari bahwa kekasihnya masih memegang prinsip “cinta punya masa
kadaluarsa” yang berarti tak ada masa depan untuk hubungan serius bagi mereka
berdua. Masalah-masalah kecil kian jadi pelik, hingga mereka menyadari mereka
punya keluarga yang bertolak belakang., dimana keluarga Jessica (Merriam
bellina & monyet peliharaannya bernama Richard) yang terkesan glamour dan
nyentrik, bertolak belakang dari keluarga Raditya dika yang tergolong sederhana
dan ceplas ceplos, yang sepertinya berusaha tampil seperti disfungsional family.
Film ini kita diajak
melihat Raditya dika mencurahkan kegalauan atau rasa frustasinya melihat
hubungan percintaannya, melalui rangkaian scene miris yang mengelitik, yang
lebih menghadirkan senyum dibalik rasa iba. Tak hanya curhat, Raditya
menunjukkan apa saja yang membuatnya sinis terhadap hubungan percintaan,
mengulitinya, menganalisa satu persatu sedetail mungkin, hingga bagaimana dia
menemukan titik temunya. Rangkaian prosesi ini seakan membuat film ini bagai
sebuah tutorial : “How to solve
relationship problem for dumb”, tentunya dalam artian positif.
Film ini hadir lebih
baik dibanding film dari buku pertamanya, kambing jantan. Film Cinta
Brontosaurus terlihat sangat “Raditya dika”.Para penonton diajak masuk
kedunianya, melihat bagaimana cara dia memandang hidup, wanita, dan menemukan
solusi permasalahan hidupnya. Segalanya akan terasa akrab bagi follower twitter, atau pengikut channel you tube -nya. Sayangnya ini
justru sekaligus menjadi titik lemah film ini, komedi Cinta brontosaurus jadi
cenderung segmented bahkan beberapa
orang yang tidak akrab dengan komedi ala Raditya dika menilainya sebagai komedi
yang gagal.
Satu hal yang menjadi
kekuatan komedi Raditya dika yang juga termasuk kekuatan film cinta
brontosaurus adalah upaya mentertawakan diri sendiri. Lihat saat kita diajak
tertawa melihat bagaimana dia diputus pacar - pacarnya, atau saat menunjukkan
bahwa dia itu cemen tapi lucu, atau
simak saat obrolan ala keluarga Raditya dika di meja makan. Raditya menulis
kehidupannya (plus bumbu fiksi tentunya) dan mengajak kita tertawa bersama.
Kekuatan lain dari komedi Raditya dika adalah keunikan cara dia melihat tingkah
orang – orang di sekitarnya. Tentu yang akrab dengan stand-up comedy tak asing dengan model komedi seperti ini, tetapi
Dia yang pertama mengangkatnya dalam suatu film.
Komedi seperti ini
adalah komedi tak biasa di Indonesia yang tiap malam dihujani komedi
merendahkan orang lain atau pukul – pukulan strereofoam, melalui tayangan –
tayangan live di televisi. Salut
untuk Raditya dika yang masih mempertahankan idelisnya ini dan bertahan di
jalur indie dengan membentuk fan basenya sendiri lewat jalur social media. Kekuatan fan base Raditya dika ini bisa dilihat
dari jumlah penonton Cinta Brontosaurus yang sampai bulan November ini tercatat
sebagai film terlaris tahun ini. Mungkin idealismenya ini yang membuat mengapa
film dari buku pertama dan kedua berjarak jauh. Saya katakan mungkin, karena
disinggung di bagian kedua film ini. menceritakan upayanya menyelamatkan
idealisme cerita brontosaurus.
Mr Sue, adalah
seorang produser film laris yang berniat mengangkat buku Raditya dika ke layar
lebar. Sayangnya film – film produksinya adalah kisah cinta Pocong dan Suster
ngesot, Suster push-up, saya menyebutnya sebagai film kancrut. Karakter Mr.
Sue, seakan memparodikan produser - produser film yang menangkap mentah-mentah
selera pasar. Produser yang menangkap selera pasar akan film horror yang beda
dengan menampilkan hantu seabsurd mungkin, atau produser yang menangkap selera
pasar yang ingin film bagus dengan menampilkan film dengan masalah mendalam tak
masuk akal. Parahnya lagi seabsurd dan sekancrut film yang dikeluarkan
produser-produser ini, filmnya masih laku di pasaran, bahkan mengalahkan
film-film yang dibuat serius. Di sini tanpa sadar, Raditya Dika seperti
mengajak penonton Indonesia mentertawakan dirinya sendiri.
Film Cinta
Brontosurus tidak hanya diisi idealism raditya dika, baik isi maupun cara
komedi.film ini berusaha menggaet penonton ‘awam” dengan menghadirkan karakter
Kosasi. Kosasih memiliki seorang pacar yang akhirnya dia nikahi bernama wanda
(Tyas mirasih) Masalah timbul saat cinta kosasih ke wanda menjadi sebuah cinta
buta. Gaya hidup boros sang istri membuat kosasih melupakan idealism bahkan
berani menghianati sahabatnya sendiri. Sebenarnya masalah Kosasih ini akan
dibuat “tutorial”-nya tersendiri di dalam film Raditya dika berjudul Cinta
dalam kardus. Kehadirian kosasih memberikan guyonan slapstick komikal yang jadi
menyeimbang guyonan segmented ala
Woody allen (minus romantisnya) yang ditampilkan Raditya dika. Kehadiran Kosasi
ini dimainkan baik oleh Soleh solihun, sayangnya karakternya tidak berjalan
mulus. Sebagian berhasil sebagai penyegar, sebagian malah tampak terlihat
mengganggu. Simak scene Kosasih yang
harus memakai handuk karena celananya terbakar, atau simak saat Kosasih
mengartikan kostum berbeda dengan memakai kostum Indian, scene – scene itu lebih
tampak mengganggu dari pada lucu.
Dibanding karakter
Kosasi, Saya justru merasa lebih segar menikmati kehadiran Edgar, adik Raditya
dika. Penampilan Edgar yang muncul disaat – saat tak terduga dengan masalah
–masalah anehnya lebih bisa membuat penonton awam tertawa lepas, walau kadang
adegan-adegan ini kurang tereksekusi dengan baik.
Akhirnya, Film ini
seperti sangat Raditya dika, bahkan minus plus film ini tidak saya tujukan pada
Fajar nugros sang sutradara ataupun para pemain, karena bagi saya (yang juga follower Raditya dika) seluruh elemen
film ini seperti menggambarkan yang Raditya mau. Saya setuju komedi Raditya
dika ini hadir segmented, khususnya
untuk abg - abg followernya. Untuk
penonton diluar segmennya film ini hadir nanggung, terlalu cheesy untuk penonton matang (baca ; tua) dan terlalu “berat” untuk
anak-anak muda (non followernya).
Tapi, saya melihat ada potensi besar yang dimiliki sang penulis, bahwa
Indonesia tinggal menunggu waktu untuk punya seorang Woody Allen.
Nilai : 3 dari nilai max. 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar