
Dilaunching pada tahun 2006,
Saat ini Twitter digunakan oleh lebih dari 300juta orang di dunia. Twitter
seakan menjadi sebuah bukit salju, dimana di puncaknya semua pengguna twitter berlomba
menggulirkan bola salju melalui 140 karakter. Bola - bola kecil salju ini sebagian menggelinding menjadi
sebuah bola salju raksasa yang siap melahap apa saja, sebut saja revolusi di Timur tengah. Sebagian berhasil, sebagian besar lainnya hanya omong kosong belaka. Twitter telah menjadi
semacam dunia baru, mereka menggunakannya untuk bergaul,
berdiskusi, mencari relasi, menyampaikan ide, protes, berdebat, mencari dukungan, hingga menemukan cintanya, dan lain sebagainya.
Hal ini yang coba ditangkap film #republiktwitter
Film ini bercerita tentang orang-orang seperti saya, sebagai bagian dari generasi menunduk. Orang-orang yang dimanapun, kapanpun, melakukan apapun selalu menunduk memantau timeline twitter dari telepone genggam mereka. Sukmo (Abimana arya) seorang mahasiswa semester akhir pergi ke Jakarta sebagai “misi” membangun komitmennya. Di Jakarta dia bertemu teman twitternya, seorang jurnalis muda bernama Hanum (Laura basuki). Akrab di twitter, ternyata tak membuat Sukmo bisa mulus menjalin hubungan nyata dengan Hanum, dia tak cukup PD mengingat Hanum terlihat lebih seperti "orang Jakarta" dari pada penampilannya di twitter, yang apa adanya.
![]() |
I love this picture |
Film #republiktwitter
menghadirkan potret kekacauan sebagai efek dari sebuah permainan 140 karakter
di twitter. Sayangnya film ini terlalu ambisius menghadirkan semua hal di
twitter sampai melupakan cerita utama yang tidak tergali sama sekali. Film ini tak
ubahnya twitter, tampil laksana terbatasi 140 karakter atau seperti karya 6
kata Ernest Hemmingway. Sayangnya media layar lebar bukan media yang tepat
menyampaikan ini. Film #republiktwitter jadi tampil dengan bahasan luas tanpa
pendalaman. Berbeda dengan karya 6 kata Ernest, film ini justru menutup
imajinasi penonton dengan memberikan ending
“seadanya dan kebetulan" disetiap konflik yang ditimbulkannya. Sangat sayang sekali padahal
film ini punya banyak celotehan menggelitik ala twitter.

Saya sendiri sering bermasalah
dengan status-status facebook dan twitter yang saya tulis, yang mereka anggap tak
penting, tabu, tak layak dibicarakan umum, dll. Saya akui beberapa tweet saya memang
kebablasan, saya lupa ada besarnya corong social media yang sangat memungkinkan
sampainya berita ke tangan yang belum siap menerima berita itu. Padahal….. (lah
kok malah curhat sendiri). Akhirnya, mengutip sebuah tweet dari seorang teman, ditengah derasnya social media
kita jadi sering melupakan teknik terbaik dalam menyampaikan masalah yaitu : berbicara secara langsung.
Nilai : 2 dari nilai max 5.
nice share
BalasHapus