Saya
pernah menulis, bahwa menonton film Thailand itu seperti menonton film Indonesia dengan bahasa yang aneh.
Film Thailand memiliki alur, teknik pembuatan, actor & aktris nya hingga kondisi
perfilmannya tak jauh berbeda dengan Indonesia. Sayangnya film Thailand
sekarang sudah mulai meninggalkan Indonesia. Mereka membuat film tak hanya
memuaskan pasar (seperti film Indonesia dengan setan & komedi kancrutnya)
mereka mulai berani membuat film yang berbeda, atau film pop yang dibuat
serius. Lebih iri lagi, penontonnya pun support
dengan kondisi ini. Dunia mulai mengenal Thailand dengan film horror “The eye”,
kemudian terpukau dengan film laganya melalui “Ong bak”, kini mereka mencoba
menyaingi komedi romantis ala Korea.
Akhir
– akhir ini film komedi romantis Thailand (juga Indonesia) rata-rata tak pernah
terlepas dari pengaruh Film Korea. Dari mana? Simak dandanan actor – aktrisnya
yang menterjemahkan tampil keren = imut dan unyu, adegan romantis yang bertele-tele (lebay), dan eksploitasi emosi belebihan. Tak salah
juga saat sebuah film menggunakan formula ini, tetapi formula seperti ini tak
cocok untuk orang – orang berumur, seperti saya. Karena itulah, saya mengosongkan ekspetasi
untuk menyaksikan film komedi romantic Thailand berjudul seven something, lagi
– lagi saya salah…
Tujuh
tahun adalah waktu yang dibutuhkan oleh planet neptunus untuk mengitari
matahari. Sebagian orang percaya bahwa Planet Neptunus berpengaruh pada
kehidupan percintaan orang di bumi, sehingga tiap 7 tahun kehidupan percintaan
kita berubah. Film seven something mengkisahkan 3 cerita cinta berdasarkan
teori neptunus dalam 3 segmen.
Puan & Milk |
Segmen
pertama berjudul like 14. Film yang disutradarai oleh Pawen Parijtipanya,
berkisah tentang hubungan 2 murid SMA di tengah dunia social media. Bagi Puan
(Jirayu La-Ongmane) social media adalah dunianya. Puan mengungkapakan perasaannya,
menciptakan karya, menceritakan kehidupannya
serta berhubungan dengan orang lain melalui social media (facebook, twitter,
you tube, blog, skype, dll). Hal ini
membuat Puan menjadi orang yang haus popularitas. Baginya, sukses adalah saat
karyanya di you tube dilihat ribuan orang. Kegilaanya ini membuatnya mulai
mengunggah video yang awalnya ditujukan hanya untuk kekasihnya Milk (Suthatta
udomsilp). Tak disangka ribuan orang menyukainya, kecuali Milk, kekasihnya
sendiri. Dari segi cerita, segmen “like 14” jelas bukan genre saya tetapi film ini
disajikan dengan sinematografi tak bisa, editing cepat ala david fincher di
social network & mengeksploitasi hal-hal kecil yang sangat menarik &
mendukung cerita seperti ala Guy Ritchie ditambah music futuristic ala trent
reznor, membuatku sangat betah untuk menunggu jawaban pertanyaan Milk: tentang siapa yang Puan pilih social media atau dirinya ?
Jon & Mam |
Segmen
kedua berjudul 21/28 di sutradarai oleh Adisorn, film ini berkisah tentang 2
bintang film yang sudah mulai redup. Mam (Chris horwang), aktris yang masih
berusaha kembali ke masa kejayaanya dulu dengan berbagai sensasi yang
dia ciptakan. Sedangkan sang pria Jon (Sunny suwanmethanont) sudah “menyerah” dan menikmati hidupnya
sebagai seorang diver di sebuah Sea world.
Hingga datanglah sebuah tawaran “come
back” melalui sekuel film yang dulu membuat mereka berdua menjadi bintang
sekaligus menjadikan mereka sebuah pasangan. Upaya keras Mam merayu Jon
disajikan dengan selingan cerita flash back masa lalu mereka. Scene demi scene
sukses mengajak saya merenung tentang jenis cinta seperti apa yang timbul pada
2 orang yang menghabiskan waktunya untuk bertengkar, sambil menjawab pertanyaan
: “(setelah apa yang mereka alami) bisakah kita kembali bersama ?”. Cerita pada
segmen ini sudah cukup sesuai dengan usia saya, tetapi justru paling tidak bisa
dipahami para ababil. (sedikit berandai) Segmen film ini akan jauh berkesan
jika sang 2 bintang utamanya dibiarkan putus. Waktu 7 tahun seharusnya sudah
cukup untuk mereka pahami mereka tak mungkin bisa bersama, lah keinginannya
saja beda. Btw apakah Jon di segmen ini dimainkan oleh 2
orang ya, beda banget?
Jira & Marathon man |
Segmen
ketiga film ini berjudul 42.195, berkisah tentang Jira malikul (Suquan
bulakul), seorang wanita yang sering tampak “sedih gak jelas”. Jira tertarik berlatih
marathon gara – gara seorang pemuda imut – imut menabraknya di sebuah taman
(Nickhkun 2PM). Film ini jadi jembatan penonton tua dan muda tentang sebuah percintaaan
antar usia. Cerita yang awalnya sederhana, menjadi begitu sangat kompleks saat
sang sutradara memberikan flash back membuka satu persatu luka kehidupan Jira
malikul, dengan cara yang sangat halus. Tak disangka sebuah lomba Marathon bisa
jadi rangkaian jawaban pertanyaan : “Apakah move on dengan daun muda adalah
sebuah ide bagus ?” (yang sebetulnya tak dijawab dengan elegan juga sih). Alih
– alih mengikuti kisah cintanya, film ini justru mengingkatkan tantangan
seorang teman untuk ikut triathlon, padahal aku tak kuat berlari sedikit pun
hahahaha. Mungkin saya butuh seseorang yang imut dan muda untuk jadi penyemangat
seperti film ini, anyone?