Beberapa bulan menjelang pergantian tahun 2013, para
pecinta film "direnteti" sebuah trailer film kolosal Indonesia yang muncul di
berbagai media. Trailernya mengingatkan kita akan film Great Gatsby
& Titanic. Saya sendiri tidak bisa mencaci maki plagiat dalam trailer, karena trailer ini tampil dengan kekhasan budaya Indonesia.
laksana Great gatsby atau trailer dengan cita rasa Indonesia. Sayangnya satu dua
isi trailer dan juga posternya membuat saya meragukan isi filmnya, tetapi : “don’t
judge the movie by its postres/trailers”
Tenggelamnya Kapal Van der wijk
bercerita tentang Zainuddin (Herjunot Ali), seorang anak pendekar minang yang merantau dan
menikah dengan wanita bugis. Sepeninggal bapaknya, Zainuddin pulang ke tanah kelahiran bapaknya, tepatnya di Desa Batipuh
Sumatera barat untuk mendalami ilmu
agama. Di sana dia bertemu sang bunga desa, Hayati (Pevita pierce) yang
memikat hatinya. Hayati pun terpikat dengan Zainuddin melalui keindahan puisi. Sayangnya,
status Zainuddin sebagai orang buangan (keturunan suku minang dari ibu luar suku
minang) membuat para datuk (tetua/kepala desa) menentang hubungan Zainuddin -
Hayati, dan membuatnya diusir dari desa. Lalu pada menit ke-20 air mata pertama
tokoh utama film ini pun jatuh dalam suatu adegan perpisahan yang mengharu biru
dengan dialog-dialog deklamasi yang menyayat hati. Hayati berjanji untuk
menunggu Zainuddin kembali, sebuah janji yang menjadi sumber segala petaka dan
kesedihan dalam keseluruhan film ini (*anda bisa membaca kalimat terakhir ini dengan aksen Zainuddin)
Zainuddin pun pindah ke Padang panjang untuk
melanjutkan pelajaran agamanya pada seorang guru mengaji. Disana dia bersahabat dengan Muluk (Randy
Nidji) anak guru mengaji yang bandel. Walau berjauhan, Hayati terus berusaha untuk tetap menjalin hubungan serta bisa terus bertemu dengan Zainuddin. Upaya Hayati untuk melakukan pertemuan
diam-diam dengan Zainuddin, justru membuatnya bertemu dengan Aziz (Reza
rahadian), seorang pemuda kaya yang berkeja di kantor Belanda dengan gaya hidup orang kota yang suka berfoya-foya. Aziz pun terpikat dengan kecantikan
Hingga suatu saat, Aziz dan Zainuddin melamar Hayati dalam waktu bersamaan. Rapat desa pun digelar untuk memutuskan siapa orang yang tepat untuk bisa menikahi Hayati. Datuk Desa Batipuh pun memilih Aziz sebagai suami hayati. Sebuah keputusan membuat Zainuddin jatuh terpuruk, sekaligus titik balik hidupnya.
Hingga suatu saat, Aziz dan Zainuddin melamar Hayati dalam waktu bersamaan. Rapat desa pun digelar untuk memutuskan siapa orang yang tepat untuk bisa menikahi Hayati. Datuk Desa Batipuh pun memilih Aziz sebagai suami hayati. Sebuah keputusan membuat Zainuddin jatuh terpuruk, sekaligus titik balik hidupnya.
Selepas pernikahan Hayati, Zainuddin
menulis semua keluh kesah hidupnya dalam sebuah novel. Tak disangka, novel Zainuddin terjual
laris dan menghantarnya untuk memegang sebuah percetakan surat kabar di
Surabaya. Hidup Zainuddin pun berubah menjadi kaya raya dan pindah ke sebuah rumah besar.
Aziz yang dipindah tugaskan ke
Surabaya, memboyong Hayati ke Surabaya. Kebiasaanya Aziz mabuk & berjudi
membuatnya bangkrut, dan kehilangan segalanya. Zainuddin pun menolong Azis dan suaminya, dengan mempersilahkan mereka berdua untuk tinggal di rumahnya. Lalu kisah cinta Zainuddin dan Hayati kembali hadir, hingga sebuah tragedi mengkandaskan segalanya.
Secara teknis saya terpukau
dengan penampilan film Tenggelamnya Kapal van der wijk. Sang sutradara, Sunil
soraya berhasil menciptakan sebuah kisah romantis klasik yang sangat berkelas. Kota Minang, Batavia, dan Surabaya di tahun 30an dihidupkan dengan
detail setting dan kostum dengan nilai art yang sangat mengagumkan. Film ini juga tampil dengan gambar dengan warna-warna buram makin menguatkan kesan klasik dari gambaran kota-kota tersebut.
Sayangnya kota–kota ini tampil bukan secara landscape yang lebih lebar. Mereka belum
berhasil menggunakan teknik blue screen untuk menggambarkan landscape Indonesia tahun 30an, seperti yang mereka gunakan scene Kapal Van
der Wijk. Walau begitu, Saya masih mengangkat jempol tertinggi untuk kru teknik film Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk.
Karakter Zainuddin-Hayati-Aziz terjalin
dengan amat apik. Gaya bicara bak deklamasi adalah pilihan tepat untuk
membuat dialog–dialog klasik dalam novel terdengar nyata. Aksen Herjunot ali dan Pevita
pierce yang awalnya terdengar aneh di telinga, lama-lama menjadi kekuatan dalam
film ini. Terlebih saat adegan dialog ditampilkan dengan gaya berbalas surat,
terdengar sangat indah, emosional, dan klasik. Reza rahardian terlihat sangat
santai melahap karakter antagonisnya serta menjalin ikatan dengan 2 tokoh
utama dengan meyakinkan. Sayangnya, saya melihat ada sesuatu yang hilang saat
transformasi karakter Aziz dari seseorang yang berkuasa menjadi seseorang yang
bangkrut.
Aziz - Hayati - Zainuddin |
Karakter Muluk yang dibawakan
Randy Nidji perlu mendapat perhatian. Jika anda pernah menyaksikan film Cold
mountain, anda akan melihat Herjunot ali bagaikan Jude law & Pevita pierce
bagaikan Nicole kidman, sedangkan Randy beberapa saat hampir menjadi Reese
witherspon di film ini. Dia tampil sebagai penyeimbangan gaya deklamasi Herjunot
& Pevita. Sayangnya ketika dia menemukan rulenya, karakter Muluk seperti terbungkamkan.
Musik yang dihadirkan Nidji
melalui single sumpah cinta mati memang
berhasil menguatkan sisi emosional film ini. Sayangnya, sang sutradara terlalu memaksa
memasukkan lagu ini ke semua adegan, yang akibatnya justru kotradiktif. Beberapa lagu ditampilkan
tidak pas, membuat beberapa adegan film ini laksana FTV siang hari. Bahkan dari twitter seorang
penonton berkomentar “Lama-lama Nidji menjadi gengges di film ini”.
Walau judul dari film ini adalalah Tengelamnya Kapal Van Der Wijk, tetapi jangan bertanya penyebab tenggelam kapal ini. Alih–alih
mengkritisi bagian ini, saya dibuat sibuk dengan letupan emosi yang timbul dari surat
dari Hayati yang dibaca mengiringi tenggelamnya Kapal Van Der wijk. Sebuah ide bagus untuk
menutup lubang besar baik secara visual effect maupun logika dalam film ini. Saya sangat memaklumi dan mengapresiasi film Indonesia yang berani menghadirkan
adegan beresiko tinggi.
Akhirnya walaupun masih gagal
disana-sini, Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, bisa dikatakan cukup berhasil mengadaptasi
novel karya Buya hamka. Rasanya sulit dipercaya kisah cinta nan tragis ini
dibuat oleh seorang ulama besar. Sebuah novel yang dibuat untuk
mengkritik budayanya sendiri pada masa itu. Sebuah kritik yang sebenarnya universal,
untuk tidak menghakimi seseorang dari label, masih sangat relevan untuk bangsa
kita yang hingga saat ini gemar memberikan label lalu menghakimi.
Nilai
: 3 / 5
BAYAR PAKAI OVO GO-PAY PULSA XL = AXIS = TELKOMSEL
BalasHapus|| POKER | DOMINOQQ | CEME | CAPSA | SAKONG||
Merdeka Deposit Min Rp.50.000 Bonus 4.500 || Merdeka Deposit Min Rp.100.000 Bonus 8.000
Merdeka Deposit Min Rp.200.000 Bonus 17.000 || Merdeka Deposit Min Rp.500.000 Bonus 45.000
WhastApp : 0812-9608-9061
bagus banget ceritanya ya
BalasHapusfree thinker indonesia