Sebelumnya
saya hanya mengenal Bacharudin Jusuf Habibie sebagai seorang Insinyur pesawat hebat,
yang gagal menjual hasil karyanya, atau sebagai seorang Presiden yang melepas wilayah
negaranya. Tokoh negatif? Anggapan saya tentang Habibie selama ini bisa jadi
salah, toh kebenaran itu bisa bersifat relatif, tergantung pada waktu dan dari
sudut pandang mana kita melihat seorang tokoh. Di tulisan ini saya tak ingin
membahas Habibie sebagai seorang insinyur atau seorang presiden transisi, saya
ingin melihat sosok Habibie secara personal seperti yang ingin ditampilkan film
ini, sebagai pasangan yang romantis
Sebelumnya, rasanya mustahil saya
melihat sisi romantisme dari habibie. Jangankan hal – hal yang berbau romantis,
saya bahkan tak percaya ada joke yang
bisa keluar dari seseorang yang selalu berapi-api, mimik serius, dengan mata
melotot setiap berbicara. Saya sampai skeptis mendengar rencana dibuatnya film drama
romantis berdasarkan kisah nyata Habibie & Ainun. Terlebih, Reza rahardian
terpilih memerankan karakter Habibie, yang notabene punya fisik yang jauh
berbeda dengan Habibie.
Film di buka saat Habibie muda
menjelaskan suatu teori, didepan insinyur-insinyur Jerman yang diam-diam
terpukau, hingga dia jatuh pingsan dan diketahui mengidap penyakit dunia
ketiga. Kejeniusan & kegandrungan Habibie akan teknologi sudah terlihat
saat dia masih duduk di bangku sekolah. di saat itu Ainun, hanyalah saingan
berat Habibie di kelas. Belum ada benih – benih cinta, karena Habibie kecil
lebih memilih jadi si kutu buku dari pada membuat kisah kasih di sekolah.
Bertahun-tahun kemudian cinta tumbuh
di keduanya, saat itu Habibie yang telah berkuliah di Jerman sedang pulang
Indonesia. Dia mendapati, saingan beratnya di sekolah telah berubah menjadi
seorang dokter cantik. Dari sini kita diajak menikmati romantisme remaja di
tahun 60an. Mulai dari bagaimana Habibie menaklukan saingannya dengan amat
sangat elegan, menaklukan hati orang tua Ainun, hingga bagaimana kedua pasangan
ini berkencan di masa itu, dimana ciuman pertama bisa terjadi diatas becak yang
sedang diguyur hujan.
Habibie kemudian menyuntingnya dan
memboyongnya Ainun ke Jerman. Mereka menjalini rumah tangga baru mereka di negeri
asing, jauh dari keluarga, serta dalam suasana keterbatasan. Tapi, lagi – lagi,
kekurangan menjadi bumbu romantisme yang paling yahud. Di bagian ini kita
diajak, bagaimana cerita romantis bisa terbangun dari kehidupan di flat
kecil bersama sang istri yang rindu rumah,atau di saat sang istri gagal
memasak,atau di saat dua pasangan tropis ini melalui kejamnya musim dingin di
Jerman.
Di saat sulit, Hanya harapan yang
bisa membuat mereka bertahan. Janji Habibie untuk membuatkan Ainun sebuah
pesawat, hingga mimpi Habibie membangun Industri hi-tech di Indonesia menjadi sumber kekuatan pasangan muda ini unuk
menghadapi masalah – masalah mereka.
Berbagai sederet prestasi Habibie di
Jerman membawanya dipanggil pemerintah orde baru untuk membangun teknologi
& industri hi-tech Indonesia. Habibie & keluarganya pun kembali
ke tanah air dan memulai membangun IPTN. Mendapat kepercayaan yang besar dari
Pemerintah Soeharto, tidak serta merta memuluskan Habibie mewujudkan mimpinya. Dalam
mewujudkan berbagai impiannya tak sedikit dia harus berhadapan dengan calo
& politisi busuk, tetapi idelisme menghantarkan dia menggapai puncak
karirnya.
Di era puncak karir Habibie, romantisme
muncul dari bagaimana Ainun melihat suaminya masih seperti anak – anak yang perlu
ingatkan untuk makan saat asyik bermain mereka masih muncul. Salah satu scene
menarik, saat Ainun memarahi Habibie sebagai seorang Presiden, agar mau tidur.
Sayangnya saat asyik mengejar mimpinya habibie hampir melupakan dan mengabaikan
Ainun,istrinya.
Dengan durasi film kurang dari 2
jam, film Habibie & Ainun terlalu berambisi menghadirkan masa kehidupan
Habibie – Ainun dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun. Untuk mengatasi padatnya
cerita, film ini sudah tepat untuk lebih memilih berfokus pada romantisme di
setiap jaman, sedangkan rangkaian momen sejarah ditampilkan sambil lalu. Disisi
lain, berbagai momen sejarah yang ditampilkan sambil lalu justru mengusik rasa
keingintahuan sebagian penonton (saya). Sehingga, beberapa penonton (seperti
saya) merasa film ini tampil dangkal.itu bukan masalah besar, karena kekuatan
film ini hadir dari kisah romantisme sehari – hari Habibie – Ainun dalam
menjalani tahapan hidup mereka.
Jika dulu Indonesia punya ikon
romantisme Galih dan Ratna, atau Rangga dan Cinta, kita sekarang punya Habibie
dan Ainun. Hebatnya lagi ikon romantisme baru Indoensia sekarang adalah tokoh
nyata. Film ini diangkat dari sebuah buku yang ditulis sendiri oleh Habibie
sebagai terapinya saat dia merasa kesepian ditinggal istri tercinta. Tak
disangka terapi ini justru menjadi salah satu legenda kisah cinta Indonesia.
Bisa saya katakan, kekuatan film ini
ada pada kekuatan akting Reza rahardian yang mampu menjawab keraguan publik
dimana fisik reza rahardian awalnya dianggap “terlalu baik” untuk karakter Habibie.
Tak disangka,, Reza rahardian bisa menampilkan bahasa tubuh khas Habibie yang
membuat kita tak lagi mempermasalahkan dia terlalu tinggi atau terlalu ganteng
atau erlalu kurus untuk Habibie tua dan lain sebagainya. Sebuah kerja keras
yang pantas diacungi jempol, karena bisa merubah sikap skeptis saya terhadap Habibie
secara personal.
Ainun & Hab |
Sebagai pasangan Reza rahardian,, Bunga
citra lestari tidak bisa dikatakan tampil buruk, penampilannya adalah alasan
manisnya cerita cinta ini. Sayangnya, Bunga citra lestari tak kuasa mengimbangi
perhatian penonton saat harus berbagi layar dengan Reza rahardian. Bahkan pada
beberapa moment, saya tak lagi merasakan kehadiran karakter Ainun. Saya masih
bisa merasakan bagaimana kegaulauan Ainun tinggal jauh dari negerinya, tapi
saya tidak merasakan kegaulauan Ainun, saat sang suami sedang tergila-gila
dengan mimpinya dan hampir mengabaikannya, kita tak juga mengetahui apa yang
dirasakan Ainun saat media mencap suaminya dengan sebutan “gila”. Aksi
reza rahardian merebut semua perhatian scene
di film ini, juga hampir melupakan kehadiran anak – anak Habibie & Ainun.
Untuk film dengan menampilkan
periode 50 tahun, art director & tata make up akan memiliki peran besar.
Saya masih bisa merasakan secuil suasana romantis Kota Bandung di tahun 60a,
tetapi selebihnya itu setting film tampil tanpa kekhasan dimensi waktu dan
ruang, bahkan iklan-iklan mengaburkan itu semua.
Saya memaklumi teknologi make-up kita tertinggal jauh dengan Hollywood,
seperti yang ditunjukkan dalam film Curious
case of Benjamin button, atau di film Iron
lady. Tim make-up film Habibie
& Ainun sudah bekerja cukup baik mempermak wajah Reza rahardian dan Bunga
Citra Lestari, walau saya merasa wajah Reza kian terlihat mudah di akhir film.
Saya sempat tergelak melihat foto Reza rahardian yang disandingkan dengan foto
Suharto, saat scene Habibie diangkat
menjadi wakil presiden.
Akhirnya, Film Habibie & Ainun
memang bukan film Indonesia terbaik, tetapi film ini wajib disaksikan
untuk yang mencari referensi film romantis Indonesia.
Nilai : 2,5 dari nilai maks 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar