Salah seorang teman saya berkomentar
tentang keengganannya menyaksikan sebuah film biografi seorang tokoh besar. Menurutnya,
film biografi akan menjadi insult
bagi seorang tokoh bila hasilnya kurang memuaskan. Alasan ini menjadi semacam
momok bagi film maker untuk
mengangkat biografi seorang tokoh ke
layar lebar, apalagi tokoh yang diangkat sekelas Soekarno, seorang bapak
bangsa, Presiden pertama Indonesia dan juga Proklamator negeri ini. Beban kian
bertambah, mengingat sejarah bersifat sangat relatif, tergantung sudut pandang
yang diambil. Dengan berbagai kontroversi di sekitar kehidupan Bung Karno, akan
cukup sulit bagi pembuat film menentukan sudut pandang yang “aman”.
Tantangan-tantangan itu belum
cukup, jika film maker mengambil
sudut pandang aman, akan membuat hasil akhir filmnya menjadi kaku, membosankan
serta meninabobokan. Penonton tak ubahnya membaca buku pelajaran sejarah sekolah
karena filmnya hanya akan berisi kumpulan keberhasilan dan pujian, dengan menjadikan
tokoh yang diangkat ke layar lebar bagaikan seorang malaikat tanpa cacat. Saya
pun mendadak cemburu dengan Hollywood, yang bisa membuat film tentang mantan
presidennya Abraham Lincoln sebagai pemburu vampire.
Film dibuka dengan kehidupan
Soekarno kecil. Soekemi (Sujiwo tedjo), bapak Soekarno, melakukan tirakat dan merubah
nama anaknya Kusno menjadi Soekarno agar tak sakit-sakitan lagi. Cerita
kemudian bergulir saat Soekarno remaja (Emir mahira), tumbuh di dalam rumah tempat
pertemuan tokoh–tokoh besar pergerakan Indonesia dari berbagai latar belakang. Bapak
kostnya, HOS Cokroaminoto, menjadi inspirasinya untuk terjun ke pergerakan politik melawan
penjajahan. Di bagian ini, kita juga diajak menengok kehidupan asmara Soekarno
remaja. Dia menjalin hubungan asmara dengan seorang noni Belanda, yang berakhir
dengan caci maki orang tua kekasihnya itu, hanya karena Soekarno merupakan pribumi.
"Saya akan mengalahkan Nippon untuk kamu Fatma" |
Cerita belanjut saat Bung Karno (Ario
bayu) ditangkap Belanda dengan tuduhan maker. Sang Istri, Inggit (Maudy
Koesnadi) berupaya menjalin kekuatan untuk mendukung pembebasan Soekarno. Sebuah
pledoi di salah satu peradilannya mengungat kemanusiaan Pemerintah Belanda di
Den Haag, segera menarik perhatian masyarakat
Indonesia (dan juga dunia). Cerita
kemudian bergulir ke masa kehidupan Soekarno di pembuangannya di Bengkulu. Disini
kita mulai disuguhkan kisah cinta segitiga antara Sokearno – Inggit – Fatmawati (Tika bravani).
Berparalel dengan makin rumitnya
cinta segitiga Bung Karno, kondisi bangsanya juga memasuki babak baru saat
Pasukan Jepang mengambil alih kekuasaan Pasukan Belanda. Ditengah debat pro-kontra
kehadiran Jepang sebagai musuh atau saudara tua, Bung Karno berhasil menyatukannya
dengan menggaet tokoh yang berseberangan dengan dirinya Bung Hatta (Lukman
sardi) untuk bekerjasama dengan Jepang.
Alih–alih memanfaatkan Jepang
untuk meraih kemerdekaan Bangsa Indonesia, Bung karno, dan Bung Hatta justru
dijadikan alat propaganda Jepang untuk mengeruk sumber daya dan tenaga orang–orang
pribumi. Kekuatan pergerakan kemerdekaan Indonesia kian terbelah, antara para
pendukung Bung Karno - Bung Hatta dan para pemuda radikal yang mencap mereka
berdua pengkhianat. Di tengah caci maki dan dukungan, Bung Karno dan Bung Hatta
memanfaatkan tiap kesempatan kecil, untuk sebuah langkah besar Indonesia meraih
kemerdekaan.
Di luar kontroversi jalan cerita
film ini, saya sangat menikmati film ini. Soekarno digambarkan tak selalu
tampil heroik, mengambil semua keputusan secara benar yang menyenangkan semua
pihak, laksana sebuah malaikat tanpa noda. Kehidupan asmaranya, dan setiap
keputusan yang diambil Soekarno dihadirkan tidak menghakimi. Kita diajak berfikir dan mendalami setiap langkah yang diambil
lalu kemudian melihat dia menjalani konsekuensi tiap sikap yang
diambil. Yang perlu dikagumi sekontroversi apapun, Bung Karno selalu mendapat
tempat di hati rakyat, kawan dan lawannya.
Bung Karno dalam film ini hadir lengkap, tak hanya menunjukkan keulungannya dalam berpolitik, berpidato, berdiplomasi, hingga seorang playboy ulung, menjadikan beliau seseorang yang dekat. Menghadirkan sosok Bung karno
yang membumi dan apa adanya bisa berarti ganda. Bagi sebagian orang hal ini
bisa dianggap insult, sebagian yang
lain (seperti saya) menjadi merasa lebih dekat (dan makin jatuh cinta) dengan
beliau. Film ini membuat segalanya tentang sejarah Bung Karno menjadi masuk
akal, dibanding cerita heroik yang saya dapat dari buku–buku pelajaran. Film
ini mengingatkan saya bahwa beliau juga manusia. Dia dibentuk bukan hanya dari
keputusan benar yang dia ambil, tetapi juga karena rangkaian keputusan salah dan bagaimana
dia bertanggung jawab menerima konsekuensi.
Bung Karno Vs. Ario Bayu |
Aktor yang paling bertanggung
jawab atas membuminya karater Bung karno adalah Ario bayu. Dia punya daya tarik
tetapi bukan tipe pesolek, walau di beberapa scene, saya merasa agak kurang puas dengan bahasa
tubuhnya. Ario bayu tidak bermain cemerlang sendiri, Ada Maudy koesnadi yang
berhasil memikat saya pada sosok Inggit dan juga Tika bravani yang secara
mengejutkan berhasil menghadirkan sisi lain karakter Fatmawi.
Hubungan Bung karno dan Bung
Hatta ditampilkan amat menarik disini, Simak saat Bung Karno melihat
senyum Bung Hatta, obrolan di dalam mobil atau simak saat Bung Karno menolak memulai pembacaan
proklamasi tanpa Bung Hatta. Ario bayu dan Lukman sardi sukses menghidupkan
persahabatan yang di buku sejarah tampak kaku dan formal. Jangan lupakan Bung
kecil, Sutan sahrir (Tanta ginting) yang tampil meletup-letup dengan kritik–kritik
pedasnya kepada Bung karno, Sang penyegar Soekarni (Aa jim) dan lusinan
karakter yang dihadirkan lebih berwarna.
Tak hanya dari departemen akting,
department teknis tampil tak kalah cemerlang, baik dari segi art,
sinematografi, editing dan musik. Iringan suara dari Rossa, membuat lagu–lagu
perjuangan seperti Indonesia pusaka dan
syukur jadi terdengar menggetarkan. Kombinasi dari semua ini membuat sang
sutradara, Hanung bramantyo sukses menghantarkan detik–detik proklamasi kemerdekaan
Indonesia menjadi suatu peristiwa yang sangat–sangat dramatis. Saya tak pernah
bergetar sehebat ini mendengar teks proklamasi dibacakan.
Protes tentang karakter dan alur
cerita film Soekarno sah–sah saja dilakukan, tetapi saya merasa gaya Hanung Bramantyo
ini lebih mendekati selera penonton baru film Indonesia. Selera penonton yang meyakini "Our heroes can be badass too", selera penonton yang kerap disuguhi film Hollywood yang “memanusiakan” superhero komik seperti halnya Batman lewat the dark
knight, Superman lewat Man of steel, Spiderman besutan Sam raimi, dan banyak
yang lainnya. Rasanya bukan jamannya lagi
menghadirkan biografi seorang pahlawan bangsa dengan meninggalkan sisi
manusiawinya (baca : sisi kelamnya). Sisi kelam yang dituding propaganda negatif terhadap diri semua karakter
dalam film ini, justru membuat saya makin hormat dengan para pejuang negera
ini. Kekurangan–kekurangan mereka seakan menjawab hal–hal yang mengganjal saya
saat menghafal sejarah negeri ini jaman sekolah. Pertentangan perbedaan pendapat antar tokoh dalam film ini juga membuat saya kagum, mereka saling hujat, tetapi
bisa membuat dialog yang konstruktif demi kemajuan negeri.
Akhirnya Film Soekarno bisa
dianggap sebagai salah satu film terbaik tahun ini. Selain itu, film Soekarno
berhasil membuat kebiasaan baru penonton Indonesia, dengan berdiri dan menyanyikan
lagu Indonesia raya sebelum film dimulai.
Nilai : 3,5 / 5
nice review makasih udah share
BalasHapuswe are who we are