Tampilkan postingan dengan label Drama anak-anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Drama anak-anak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Desember 2012

Keajaiban Imajinasi Dunia Film (Review film Hugo)

Seingat saya, film ini sudah saya review sebelumnya, tetapi mengapa hilang di posting ya? Atau saya lupa? *toyor diri sendiri. Karena Hugo adalah salah satu film terbaik yang saya tonton di tahun 2012, maka reviewnya wajib ada di blog ini, bahkan saya rela menulisnya 2x!

Film dibuka dengan suasana musim dingin kota Paris di tahun 1930, kamera lalu bergerak mengikuti rel kereta api dan berhenti di sebuah stasiuan. Di sini kita diberi pemandangan artistik stasiun kuno dengan sinematografi yang benar-benar sangat indah. Opening scene ini bahkan sempat membuat saya berfikiran bahwa Hugo adalah film animasi 3D, tetapi itu memang setting nyata. Kamera mengajak kita menyelami hiruk pikuk stasiun  lengkap dengan kepulan asap ala kereta api uap, toko buku, cafĂ©, seorang penjaga dengan anjingnya, dan toko mainan yang wah banget….. (saya sampai kehilangan kata-kata) apalagi jika disaksikan dalam format 3D. Kamera lalu menarik kita mengamati jam – jam besar nan megah dan diantaranya itu terlihat sepasang mata seorang bocah yang mengawasi hiruk pikuk stasiun dari balik jam- jam itu.

Hugo & George mieles
Dialah Hugo cabret (Asa butterfield), seorang yatim piatu yang sekarang harus tinggal dengan sembunyi-sembunyi di antara jam-jam besar di dalam stasiun kereta api. Awalnya dia memiliki seorang ayah (Jude law) yang bekerja di sebuah museum, yang selalu menginspirasi Hugo untuk selalu kreatif. Suatu saat sang ayah pulang dengan membawa sebuah robot anak kecil, berdua mereka mencoba membuka misteri bagaimana robot ini bekerja, rupanya ada sebuah kunci yang tidak mereka miliki. Hingga suatu hari ayahnya meninggal dalam suatu ledakan besar di museum tempat dia bekerja. Hugo harus tinggal bersama sang paman claude (Ray winstone) di dalam stasiun. Sang paman adalah petugas reparasi jam-jam besar di stasiun itu, dari sini kemampuan Hugo akan mekanisasi makin terasah. Sayangnya kebiasaan mabuk sang paman membuatnya tak pernah kembali ke stasiun, hingga Hugo harus tinggal sebatang kara (halah kayak sinetron).
 Hugo cabret : “Maybe that's why a broken machine always makes me a little sad, because it isn't able to do what it was meant to do... Maybe it's the same with people. If you lose your purpose... it's like you're broken.”
Ini bukan film tentang Hugo yang meratapi nasibnya, hidup Hugo dipenuhi oleh obesesi untuk membuat robotnya bergerak. Obesesi yang membawanya ke suatu konflik dengan pemilik toko mainan, George mieles (Ben kingsley). Konflik ini juga membawanya bertemu seorang gadis sebayanya bernama Isabele (Chloe grace morez). Dari sini kita diajak mengikuti bagaimana polah si bocah menghadapi kesepiannya, petualangannya mengeksplore Paris tahun 1930, dan juga rangkaian aksi kucing-kucingannya dengan penjaga stasiun (surprisenya dimainkan apik oleh Sachsa boren cohen). Singkat kata persahabatan Hugo & Isabele berujung pada terkuaknya suatu rahasia di balik robot, yang ternyata membawa mereka ke penemu terbesar dunia film modern.

Sangat mengejutkan saat Martin yang dikenal spesialisasi membuat film cowok (Gangs of New York, Aviator, Departed) mendadak mau membuat film anak-anak dalam format 3D. Film hugo adalah proyek film 3D nya yang pertama, tetapi dia melakukan seperti sudah expert memainkan gambar untuk menciptakan dunia imajinasi, laksana suatu wahana permainan. Film ini punya semua hal (sinmatografi, art, sound, visual) untuk memainkan semua imajinasi penontonnya saya.
 George mieles : “My friends, I address you all tonight as you truly are; wizards, mermaids, travelers, adventurers, magicians... Come and dream with me.”
Isabel & hugo di tengah kejaran inspectur
Film ini hadir efektif melalui sederatan gambar yang menawan (sudah berapa kali saya berkomentar seperti ini, karena memang saking magicnya), hingga para pemain di film ini pun harus rela terkalahkan. Mungkin karena Martin Scorsese memandangnya dari kacamata anak-anak, karakter dan konflik di film ini tampil kurang begitu kompleks seperti film Scorsese sebelumnya. Hugo bahkan tak punya hingar bingar visual effect yang seharusnya jadi kewajiban pada genre film seperti ini. Walau teman-teman saya mempermasalahkan hal ini, tetapi saya tidak memperdulikannya, karena saking sibuknya menikmati keindahan gambar-gambar indah di film ini (tambah satu lagi).

Pada perlehatan Oscar 2012, Hugo meraih 5 oscar (visual, Art, sound mixing, sound effect, sinematografi) dari 11 nominasi yang didapatkan.  Saya sebenenarnya menjagokan Martin untuk meraih best director di oscar, tapi dia harus merelakannya pada  Michael havanaviciuz (the artist) yang juga meraih Oscar film terbaik. Saking jatuh cintanya dengan film ini saya sempat berfikir untuk memberi nilai sempurna pada film ini.
 
Nilai 4 dari nilai max 5





Minggu, 24 Juni 2012

Drama sepak bola Indonesia (Review film Garuda di dadaku 2)

Pertama kali melihat film Garuda di dadaku di tahun 2009 melalui layar lebar musim liburan sekolah. Sebuah film dengan konflik dan alur sederhana, mengalir penuh “kesenangan” akan sepak bola. Film ini tak diduga menembus 1 juta penonton, mengusik sang produsernya membuat sekuelnya. Hingga di tahun 2011 munculah film Garuda di dadaku 2. Film ini tak sempat saya tonton di layar lebar, hingga hari minggu lalu sebuah stasiun TV menayangkan perdana film ini di layar kaca. Rudi soedjarwo (Ada apa dengan cinta) di dapuk menjadi sutradara Garuda di dadaku 2 menggantikan posisi Ifa isfansyah (sang penari), dengan penulis scenario tetap dilakukan oleh Salman aristo (laskar pelangi).

Kali ini, Bayu (Emir mahira) sudah bergabung di Timnas Indonesia U-15 dengan predikat sebagai kapten tim. Sayangnya tim Bayu ini tak kunjung menang, hingga akhir hayat sang kakek, Bayu belum pernah merayakan kemenangan satu pun. Campur tangan pengurus, politisasi sepak bola, pergantian pelatih secara mendadak, popularitas dan lain sebagainya campur aduk di dalam kubu timnas seakan menyentil kondisi timnas saat ini. Bayu sendiri, mengalami masa sulit, Latihan sepak bola yang begitu keras, beban tugas sekolah yang memberatkannya, hubungan buruknya dengan sahabatnya Aldo, munculnya Yusuf, saingannya di timnas, hingga sang ibu yang membawa sosok “ayah” baru di rumah, membuat bayu frustasi, hingga kejuaraan Asean U-15 datang.

Berbeda dengan seri awalnya Film garuda di dadaku 2 hadir penuh konflik. Bayu yang awalnya dihadirkan dengan karakter sederhana, mendadak sekarang harus menghadapi banyak masalah yang melibatkan bakatnya, ego, dan perasaanya. Tak cukup banyak konflik, film ini juga memberikan bumbu “kisah cinta”. Saking padatnya beban cerita, para pemain bermain tak sebebas di seri awalnya, karena mereka dituntut berakting lebih serius. Penampilan Ramzi yang berusaha mencairkan ketegangan acting bayu dan Aldo (Aldo tansani) seperti di seri awalnya tak kunjung berhasil, untungnya film ini masih punya nilai plus.

Perlu di acungi jempol adalah upaya menghadirkan drama olahraga di tengah lapangan. Saya pernah memuji, film tendangan dari langit yang menghadirkan 1 drama pertandingan, dan ternyata film Garuda di dadaku 2 malah menghadirkan 6 pertadingan ! (CMIIW). walau tidak istimewa, tetapi hasilnya sudah cukup bagus. Dengan menghadirkan 6 pertandingan di lapangan, seharusnya film ini tak perlu dijejali banyak konflik lagi, khan jadi berat melihatnya.

Nilai : 2,5 dari nilai max 5.