Sumber : http://21shortfilm.com/program-festival |
Sutaradar : Ima Puspita Sari
Pak Wasis adalah orang yang mencetuskan program jam belajar Masyarakat (JBM). Sebuah program yang dulu pernah dicanangkan saat orde baru hingga reformasi membuat masyarakat melupakan program ini. Merasa program ini penting Pak Wasis berusaha untuk menghidupkan lagi program ini dengan melakukan berbagai sosialisasi di berbagai daerah.
Dokumenter ini tidak hanya mengajak kita mengenai apa jam belajar itu, tetapi juga melihat bagaimana keseharian Pak Wasis. Menginjak usia 78 tahun, Pak Wasis masih sangat energik melakukan berbagai kegiatan untuk mensukseskan programnya. Yang unik, film ini juga seakan skeptis terhadap program yang nampak usang. Tidak melulu serius dengan bahasan tentang pendidikan, film ini mampu menangkap reaksi-reaksi unik masyarakat yang cukup mengundang tawa.
Score: 3.5/5
Sumber : http://21shortfilm.com/program-festival |
Kesan pertama
Sutradara : M. Iskandar Tri Gunawan.
Dokumenter ini bercerita tentang sebuah keluarga Zarkoni yang tinggal di Yogyakarta. Keluarga Zarkoni adalah keluarga normal pada umumnya, dengan 2 anaknya yang masih kecil yang memiliki masalah kesehatan. Anak pertama Zarkoni memiliki masalah pada nafsu makan, sedangkan anak keduanya terserang batuk -pilek. Lalu seperti pada keluarga pada umumnya, dia mencari informasi mengenai pengobatan alternatif dari testimonial teman-teman terdekat yang akhirnya mengantarkannya pada jamu cekok.
Film ini mengajak kita melihat lebih dekat mengenai bagaimana keluarga jawa menyelesaikan masalah kesehatan mereka secara tradisional, lengkap dengan keunikan teknik pengobatan jamu cekok itu sendiri. Dokumenter ini terasa sangat dekat dengan menampilkan adegan-adegan unik yang sangat segar seputar kehidupan keluarga Zarkoni.
Score : 3/5
Sumber : http://21shortfilm.com/program-festival |
Sutradara : Fazhilla Anandya
Oen Sin Yang atau dikenal dengan nama panggilan Pak Goyong adalah seorang pelestari musik tehyan. Ketika genre musik yang dimainkannya tergerus jaman dan ditinggalkan pendengarnya Pak Goyong masih setia untuk tetap memainkannya serta membuat alat musik tehyan walau itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Film ini mengajak kita melihat lebih dekat keseharian Pak Goyong, mulai dari pagi hari saat beliau menjadi pemulung hingga memenuhi undangan tampil ke acara festival. Film ini tampil manis, sendu, dan melankolis terlebih pada akhir film menampilkan Pak Goyong yang bermain musik saat senja menjelang di tepian sungai, berharap kita tidak melupakan orang-orang seperti Pak Goyong.
Score : 3/5
Sutradara : Cynthia Natalia
Jika anda sedang tidak memiliki ide untuk membuat cerita, dengarkan pembantu anda bercerita.
Film dokumenter ini berutat seputar kisah cinta seorang pembantu rumah tangga bernama Siti. Dengan gaya Bibi Siti yang lugu, polos dan penuh filosofi akan cinta film ini tampil sangat segar dan sangat-sangat menghibur. Akan tetapi jika dilihat dari tema dokumenter, film ini sangat dangkal. Kita hanya diajak mendengar tanpa ada ruang untuk bersimpati atau terhubung dengan isu yang lebih besar
Score : 2.5/5
Jika anda sedang tidak memiliki ide untuk membuat cerita, dengarkan pembantu anda bercerita.
Film dokumenter ini berutat seputar kisah cinta seorang pembantu rumah tangga bernama Siti. Dengan gaya Bibi Siti yang lugu, polos dan penuh filosofi akan cinta film ini tampil sangat segar dan sangat-sangat menghibur. Akan tetapi jika dilihat dari tema dokumenter, film ini sangat dangkal. Kita hanya diajak mendengar tanpa ada ruang untuk bersimpati atau terhubung dengan isu yang lebih besar
Score : 2.5/5
Pak Tjipto Sang Designer Tipografi Vernakuler
Sumber : http://21shortfilm.com/program-festival |
Sutradara : Andi Haryanto
Tipografi Vernakuler adalah seni menulis huruf secara manual. Jika dulu orang membuat iklan tulisan dan gambar secara manual, saat ini teknik ini sudah ditinggalkan sejak menjamurnya mesin cetak atau printer. Pak Tjipto tinggal di Yogyakarta adalah sedikit orang yang masih setia menjalankan bisnis tipografi vernakuler dan juga melukis becak.
Sang sutradara membuat film ini untuk mendokumentasi salah satu teknik desain grafis yang akan punah oleh perkembangan jaman.
Score : 2/5
Sutradara : Yandy Laurens
Dokumenter ini dibuat untuk memperingati 50 tahun Marching band Korps Putri Tarakanita (KPT). Berisi kumpulan wawancara puluhan alumni KPT, yang banyak diantara mereka telah menjadi pesohor negeri ini seperti Ira wibowo, Tamara Geraldine, dll. para alumni ini bercerita tentang memori mereka saat bergabung di marching band ini. Mulai dari bagaimana kesan pertama mereka melihat KPT, hingga bagaimana akhirnya marching band ini ikut menjadi bagian terpenting kehidupan mereka.
Yang unik dari dokumenter ini adalah editing. Kita mungkin akan bosan dalam 24 menit mendengar puluhan orang bercerita hal yang sama, tetapi dokumenter ini menampilkan semua wawancara ini secara efektif. Fokus dokumenter Viva tar memang hanya tentang apa yang para alumni KPT rasakan dan untuk ini mereka berhasil, Viva Tar mampu membuat kita merasakan apa yang nara sumber itu rasakan mengenai korps marching band ini. akan tetapi, umur 50 tahun sepertinya terlalu panjang hanya untuk melihat sisi positif, tanpa ada pasang surut, serta bagaimana mereka bertahan selama itu dan ini membuat semua testimonial ini terasa berat sebelah.
Score : 2/5
jadi pengen nonton film2nya
BalasHapusDownload Drama Korea
Hi. Saya mau tanya, apakah anda msh ingat alamat rmh pak tjipto desainer tipografi yg ada di yogyakarta
BalasHapusHi. Saya mau tanya, apakah anda msh ingat alamat rmh pak tjipto desainer tipografi yg ada di yogyakarta
BalasHapusmakasih udah share yah kak
BalasHapusal fatihah
makasih </a
BalasHapus