Pendidikan
sepertinya sebuah isu besar di Indonesia yang tak pernah habis diceritakan. Tak
perlu bicara kurikulum, sertifikasi, UNAS dll, cukup tentang pendidikan sebagai
hak dasar semua orang saja masih banyak kita jumpai cerita miris. Sekolah bagi
beberapa anak di negara ini seperti barang mahal, dan untuk mendapatkannya,
mereka harus melalui petualangan besar nan seru bak Indiana jones. Oleh sebab
itulah Film Indonesia tak pernah berhenti menghadirkan petualangan -
petualangan anak - anak Indonesia di pedalaman untuk bersekolah, sebut saja :
Laskar pelangi, Denias negeri di atas awan, atau serdadu kumbang. Setelah
sukses menghantarkan Laskar pelangi & Sang pemimpi, produser Mira lesmana bersama
sutradara Riri riza kembali menghadirkan petualangan untuk mendapatkan
pendidikan. Kali ini giliran dunia pendidikan anak - anak rimba dari bukit dua
belas Jambi. Film ini diangkat ke layar lebar berdasarkan buku Sokolah rimba.
Film ini
menceritakan kisah nyata dari seorang wanita bernama Butet Manurung (Prisia
nasution) seorang aktivis LSM wana raya. Tugasnya memberikan pendampingan
kepada suku-suku rimba di Hutan Bukit Dua belas Jambi, dengan memberikan
pendidikan dasar berupa membaca, menulis, dan berhitung sederhana kepada anak – anak rimba. Kehidupan orang
–orang rimba makin lama makin terdesak oleh perluasan perkebunan kelapa sawit,
pembalakan liar, hingga berdirinya taman nasional.
Film dibuka
dengan bagaimana susahnya ibu guru (begitu Butet dipanggil anak-anak rimba)
menjangkau wilayah tempatnya mengajar di daerah Makekal hulu. Butet harus
menempuh. 3 jam berkendara sepeda motor hingga mencapai desa transmigrasi
terakhir, lalu dia harus berjalan kaki masuk jauh ke dalam hutan. Hingga siang itu,
kondisi fisiknya yang kurang prima membuatnya pingsan di pinggir sungai kecil.
Seorang anak rimba misterius yang diam-diam mengikutinya, menyelamatkannya
tepat waktu. Dari sini Butet menyadari bahwa anak yang menolongnya secara
sembunyi – sembunyi ikut memperhatikan aktivitas Butet dalam mengajar.
Bungo (Nyungsang
Bungo), nama anak rimba misterius itu. Dia datang dari suku rimba pedalaman
terjauh. Dia rela berjalan sangat jauh dari desanya di daerah Makekal hilir
untuk diam-diam mengikuti pelajaran Butet sambil membawa sebuah surat dari
notaris.
Kehadiran Bungo,
memacu Butet untuk memperluas area mengajarnya. Butet ditemani Nengkabau &
Beindah (diperankan oleh mereka sendiri, 2 anak dari makekal hulu) berjalan 3
hari melintasi hutan untuk mencapai rombong tempat Bungo tinggal. Tentangan
sang bos yang haus popularitas demi keuntungan pribadi, kejaran para pembalak
liar, dan sergapan penyakit malaria, tak menghalangi upaya Butet membuka kelas
di desa tempat Rombong Bungo tinggal. Setelah berhasil membuka kelas, dia masih
harus menghadapi sikap sinis masyarakat Rombong yang dikepalai Tumenggung
(kepala suku) Balawan Badai. Bagi mereka, Pensil dan kertas adalah sebuah
kutukan dan membawa penyakit dan kesialan.
Selama berabad –
abad orang rimba bisa hidup berdampingan dengan alam. Mereka bisa hidup tanpa
ada ilmu pengetahuan dari luar. tanpa pelajaran baca tulis, karena hutan tempat
tinggal mereka sudah memenuhi kebutuhan mereka. Dr Astrid, seorang peneliti
dari Jerman yang jatuh cinta pada kehidupan suku di pedalaman ini menyatakan
dari berbagai banyak hal Suku Rimba punya pikiran lebih maju dari kehidupan
masyarakat modern. Mereka menjadikan
alam sebagai cerminan bagaimana mereka harus menjalani hidup. Salah
satunya digambarkan secara apik melalui animasi tentang pohon madu yang jadi
sumber kehidupan orang rimba.
Mapannya
kehidupan orang rimba bersama alam, membuat mereka seakan menutup diri dari
dunia luar. Mereka menjaga diri untuk melihat dunia luar, dan itulah sebabnya
Butet merasa harus menerima tatapan sinis dari orang –orang rimba makekal
hilir. Bagi mereka ilmu yang dibawa Butet akan membawa anak – anak mereka
membawa anak-anak mereka keluar dari rombong dan tak kembali, hingga Butet
harus menerima keputusan pengadilan adat, untuk segera menutup sekolah dan
pergi dari Rombong Bungo.
Spirit belajar
Bungo agar dirinya tak dibodohi lagi oleh orang luar membuat Butet tak menyerah
atas penolakan orang rimba. Atas jasa Bu Pariyan (Netta kd), Butet membuka
sekolah di desa tempat berkumpulnya orang – orang suku rimba menjual hasil
hutan. Ide yang efektif untuk menarik
lebih banyak anak- anak rimba untuk bersekolah termasuk Bungo .Hingga suatu
kejadian membuatnya mulai mempercayai bahwa pensil dan kertas memang benar kutukan
untuk orang rimba.
Film ini berulangkali
menekankan bahwa ada yang salah dengan pemerintah (dan juga kita) dalam melihat
orang rimba. Selama ini kita melihat mereka sebagai orang yang terbelakang,
yang perlu dikasihani dan dibantu. Orang rimba tidak perlu orang luar, mereka
hanya perlu hutan mereka untuk hidup, seperti halnya yang terjadi selama
berabad-abad. Hingga perkebunan sawit, dan pembalakan liar merusak hutan
mereka.Upaya pemerintah menetapkan hutan mereka sebagai kawasan taman nasional,
membuat orang rimba tak boleh lagi mengambil hasil hutan atau berburu di hutan
mereka. Hal ini membuat orang – orang rimba kehilangan rumah, kehilangan penghidupan
mereka, hingga merubah kehidupan mereka.
Cerita ini
mengingatkan saya akan kehidupan suku Na’vi, penduduk asli Planet Pandora dari
Film Avatar besutan James cameron. Bedanya, cerita orang rimba yang kehilangan
kehidupannya ini nyata dan ada dinegara kita. Para pendatang masuk ke rumah
mereka seakan memaksakan suatu kehidupan yang berbeda dari mereka, lalu dengan
seenaknya kita cap kehidupan mereka terbelakang.
Sayangnya di film ini kita hanya melihat persoalan suku
rimba hanya dari satu padang Butet manurung seorang. Kekuatan suku rimba dan
ekselerasinya dengan alam hanya hadir berupa pernyataan lisan dari Dr astrid
& Butet, dengan minim visualisasi layaknya animasi pohon madu.
Dengan iringan
musik yang membawa atmosfer misterius, damai, nan eksotik, film Sokola rimba
memilih tampil sederhana, dan jujur.
Film Sokola rimba berupaya menghindari dramatisasi berlebihan, walau film ini
punya potensi untuk tampil dengan berbagai dramatisasi masalah. Idealisme sang
produser dan sutradara ini membawa film ini menjadi sangat segmented untuk bisa dikonsumsi
sebagai hiburan.
Dari segi cast, secara visual saya belum puas akan
penampilan Prisia sebagai Butet, tetapi dia seakan punya daya tarik atau aura
yang membuat kita susah untuk tidak suka kepada karakter Butet. Ada eksotisme
alami dalam diri Prisia yang seperti selaras dengan kehidupan manusia rimba,
membuat saya tak punya bayangan aktris lain selain Prisia nasution yang menjadi
pilihan tepat memainkan karakter Butet manurung.
Seperti halnya,
Laskar pelangi, lagi – lagi Mira lesmana & Riri riza menggunakan aktor dari
orang rimba asli untuk bermain dalam film ini. Saya bisa memaklumi bagaimana
susahnya mengajari orang – orang awam berakting, terlebih kepada orang yang tak
mengenal film. Lagi – lagi Riri riza tahu, bagaimana mengatasi kekakuan mereka
menjadi suatu hal yang natural. Penampilan Nengkabau, Beindah, dan Bungo
diam-diam memikat dan selanjutnya mengikat saya secara emosional. Saya ikut
tertawa saat mereka sudah lancar berhitung, dan bisa berbelanja. Saya juga tak
kuasa menahan haru, melihat akhirnya Bungo bisa membaca surat Notaris yang
selama ini selalu dibawa-bawanya. Surat yang dicap jempol oleh Tumenggung
mereka tanpa satu pun dari orang desa tau isinya karena mereka tak bisa
membacanya. Surat itu berisi ijin penebangan pohon-pohon di hutan tempat mereka
menggantungkan hidup yang hanya ditukar oleh beberapa bungkus kopi dan beberapa
kaleng biskuit!. Sebuah perjanjian yang
membulatkan tekad Bungo untuk belajar, bukan untuk keluar dari adat orang
rimba, tetapi untuk membantu orang rimba beradaptasi menghadapi perubahan
jaman.
Nilai : 3 dari nilai max. 5
keren ini, bagus postingannya...
BalasHapusterima kasih :-)
BalasHapusSip Sip...
BalasHapusemang pantas ini dapet penghargaan :thumbup
BalasHapusMenang ya? Selamat!
BalasHapusijin share ya kak reviewnya
BalasHapusElever Media Indonesia