Senin, 25 November 2013

The Hunger Games; Catching Fire: Not teen movie anymore

 Awal tahun 2012 yang lalu, Review Film The Hunger Games yang pertama menuai kritikan. Saya jatuh cinta dengan semangat memberontak yang disampaikan film itu, hingga menginspirasi saya dalam men-sinis-i tatanan masyarakat kita. Kali ini saya tidak akan membahasnya lagi, mari kita bicara sekuel Film The Hunger games; Catching fire sebagai layaknya moviefreaks.
  
Kemenangan Katnis everdeen (Jenifer Lawrence) di pertandingan Hunger games tidak serta merta membuat hidupnya damai. Berbagai kematian yang dilihatnya selama pertandingan membuatnya mengalami trauma dan mimpi – mimpi buruk yang terus mengganggunya. Katnis juga tidak bisa lagi hidup sebagai dirinya, dia harus menyembunyikan kisah cintanya dengan Gale (Liam hemsworth) dan terus melanjutkan kisah cinta sandiwaranya dengan Peeta (Josh hutcherson), karena itulah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Katnis tidak hanya harus memalsukan kisah cintanya, tetapi juga semua yang ia lakukan & bicarakan, terlebih setelah Presiden Snow (Donald Sutherland) menemuinya secara langsung untuk mengancamnya.
 
Aksi “memberontak” Katnis selama pertandingan hunger games terakhir, hingga membuat Pemerintah mau merubah peraturan, menjadi sebuah simbol sebuah harapan terjadinya perubahan hidup. Harapan yang membuat Primrose (Willow shields) adik Katnis , Ibunya (Paula Malcolm), serta orang - orang tertindas lainnya untuk bertahan, sekaligus menginspirasi masyarakat 12 distrik untuk mencetuskan pemberontakan. Hal ini membuat pemerintah perlu mengontrol apapun yang Katnis dan Peeta lakukan, sayangnya mereka sudah terlanjur menjadi simbol perlawanan (sayangnya simbol – simbol ini kurang tersampaikan di film ini, faktor durasi).  Tour perayaan pemenang The Hunger games yang dilakukan Katnis & Peeta seakan menjadi api yang menyulut terjadinya revolusi.
  
Pemerintah tak mau menyerah, mereka makin menekan masyarakat dengan menyebarkan ketakutan, menghukum mati ditempat semua orang yang mengeluarkan simbol – simbol perlawanan (termasuk salam 3 jari), membungkam pers dengan menyembunyikan berbagai kerusuhan, dan lain sebagainya. Di saat pemerintah, membuat hidup rakyat di 12 distrik sengsara, pemerintah pusat membuat pesta besar untuk memanjakan rakyat di ibu kota seakan menangatakan segalanya baik – baik saja…. Sounds familiar?  Aksi Pemerintah Panem membuat saya teringat Indonesia di Jaman Orde baru. "Bagi yang suka menyebarkan foto bapak tua bertanya apa kabar?.. tolong bedakan hidup dalam kondisi aman dan kejadian kerusuhan/korupsi tidak boleh diberitakan (..lah malah curhat)."
  
Saat kondisi makin tak terkendali, pemerintah punya ide untuk membungkam semua inspirator revolusi. Pemerintah membuat para pemenang The Hunger games kembali bertarung di pertandingan The Hunger Games berikutnya. Mau tidak mau 24 juara dari 12 distrik, termasuk Katnis & Peeta, kembali mengangkat senjata mempertahankan hidup mereka, dan kembali saling bunuh.. di titik ini, kita serasa akan mengulang lagi bagian awal filmnya, dan ini hampir membuat saya mengalami anti klimaks…  (tapi ini khan adaptasi buku, dan dibuku memang ditulis ada pertandingan The Hunger games lagi :-D)
  
Untungnya, Film Catching fire tahu mengatasi kebosanan ini. sang sutradara Francis Lawrence, dan para penulis skenario menyajikan pertandingan Hunger games menjadi lebih padat, dengan setting dan tantangan yang lebih hingar bingar dibanding sebelumnya. Semua kontestan hunger games kali ini juga dtampilkan abu – abu, untuk membuat kita menebak dia kawan atau lawan.
  
The hunger games memang sudah meletakkan dasar emosional kuat di tiap karakter, sehingga di sekuelnya ini semua cast terlihat tampil lebih dalam lagi seperti si tangan besi yang sedang risau yang dimainkan Donald Sutherland, atau karakter 2 kaki yang dimainkan Woody harrelson & Phillip Seymour Hoffman, dan juga ke-esentrikan karakter yang dimainkan Stanley tucci.  Yang tak kalah menarik di film ini, melihat bagaimana Peeta & Gale bisa bermain menarik simpati. Menurut kalian mana yang lebih sukses menarik simpati : Peeta yang rela memberikan nyawanya untuk melindungi wanita yang hatinya sudah jadi milik orang lain atau, Gale yang harus melihat wanita yang dicintainya dengan pria lain demi keselamatannya *puk-puk Katnis. Seperti bagian awalnya, lagi – lagi aktris peraih oscar 2013, Jenifer Lawrence menjadi roh dari keseluruhan film Catching fire.
  
Ending dari film ini akan membuat anda terbengong – bengong, sembari mencerna apa yang terjadi, suara cold play di credit scene akan sangat membantu menenangkan anda..dan setelah itu anda pasti akan bertekat kembali lagi ke bioskop untuk menyaksikan 2 bagian terakhir the Hunger games.
  
Bagian kedua The hunger games ini membuat saya lupa bahwa Hunger games sebenarnya adalah film remaja. Catching fire sukses tampil lebih dewasa, Tema tentang harapan, revolusi, kesenjangan, dan pemerintah tangan besi mengalahkan cerita cinta, cemburu, dan kegalauan. Saking dewasanya film ini, 3 orang ABG  yang duduk disebelah saya kebingungan membahas bagaimana kisah cinta dalam film ini bisa terjadi. Keributan mereka makin absurd saat mereka baru tersadar bahwa ‘The hunger games itu bukan sekuel dari twilight” *tepok jidat.
Nilai :  3,5 / 5

Sabtu, 23 November 2013

Sokola Rimba; Protes Dari Orang Rimba



Pendidikan sepertinya sebuah isu besar di Indonesia yang tak pernah habis diceritakan. Tak perlu bicara kurikulum, sertifikasi, UNAS dll, cukup tentang pendidikan sebagai hak dasar semua orang saja masih banyak kita jumpai cerita miris. Sekolah bagi beberapa anak di negara ini seperti barang mahal, dan untuk mendapatkannya, mereka harus melalui petualangan besar nan seru bak Indiana jones. Oleh sebab itulah Film Indonesia tak pernah berhenti menghadirkan petualangan - petualangan anak - anak Indonesia di pedalaman untuk bersekolah, sebut saja : Laskar pelangi, Denias negeri di atas awan, atau serdadu kumbang. Setelah sukses menghantarkan Laskar pelangi & Sang pemimpi, produser Mira lesmana bersama sutradara Riri riza kembali menghadirkan petualangan untuk mendapatkan pendidikan. Kali ini giliran dunia pendidikan anak - anak rimba dari bukit dua belas Jambi. Film ini diangkat ke layar lebar berdasarkan buku Sokolah rimba.
 
Film ini menceritakan kisah nyata dari seorang wanita bernama Butet Manurung (Prisia nasution) seorang aktivis LSM wana raya. Tugasnya memberikan pendampingan kepada suku-suku rimba di Hutan Bukit Dua belas Jambi, dengan memberikan pendidikan dasar berupa membaca, menulis, dan berhitung sederhana  kepada anak – anak rimba. Kehidupan orang –orang rimba makin lama makin terdesak oleh perluasan perkebunan kelapa sawit, pembalakan liar, hingga berdirinya taman nasional. 
 
Film dibuka dengan bagaimana susahnya ibu guru (begitu Butet dipanggil anak-anak rimba) menjangkau wilayah tempatnya mengajar di daerah Makekal hulu. Butet harus menempuh. 3 jam berkendara sepeda motor hingga mencapai desa transmigrasi terakhir, lalu dia harus berjalan kaki masuk jauh ke dalam hutan. Hingga siang itu, kondisi fisiknya yang kurang prima membuatnya pingsan di pinggir sungai kecil. Seorang anak rimba misterius yang diam-diam mengikutinya, menyelamatkannya tepat waktu. Dari sini Butet menyadari bahwa anak yang menolongnya secara sembunyi – sembunyi ikut memperhatikan aktivitas Butet dalam mengajar. 
  
Bungo (Nyungsang Bungo), nama anak rimba misterius itu. Dia datang dari suku rimba pedalaman terjauh. Dia rela berjalan sangat jauh dari desanya di daerah Makekal hilir untuk diam-diam mengikuti pelajaran Butet sambil membawa sebuah surat dari notaris.
Kehadiran Bungo, memacu Butet untuk memperluas area mengajarnya. Butet ditemani Nengkabau & Beindah (diperankan oleh mereka sendiri, 2 anak dari makekal hulu) berjalan 3 hari melintasi hutan untuk mencapai rombong tempat Bungo tinggal. Tentangan sang bos yang haus popularitas demi keuntungan pribadi, kejaran para pembalak liar, dan sergapan penyakit malaria, tak menghalangi upaya Butet membuka kelas di desa tempat Rombong Bungo tinggal. Setelah berhasil membuka kelas, dia masih harus menghadapi sikap sinis masyarakat Rombong yang dikepalai Tumenggung (kepala suku) Balawan Badai. Bagi mereka, Pensil dan kertas adalah sebuah kutukan dan membawa penyakit dan kesialan.  
  
Selama berabad – abad orang rimba bisa hidup berdampingan dengan alam. Mereka bisa hidup tanpa ada ilmu pengetahuan dari luar. tanpa pelajaran baca tulis, karena hutan tempat tinggal mereka sudah memenuhi kebutuhan mereka. Dr Astrid, seorang peneliti dari Jerman yang jatuh cinta pada kehidupan suku di pedalaman ini menyatakan dari berbagai banyak hal Suku Rimba punya pikiran lebih maju dari kehidupan masyarakat modern. Mereka menjadikan  alam sebagai cerminan bagaimana mereka harus menjalani hidup. Salah satunya digambarkan secara apik melalui animasi tentang pohon madu yang jadi sumber kehidupan orang rimba. 
  
Mapannya kehidupan orang rimba bersama alam, membuat mereka seakan menutup diri dari dunia luar. Mereka menjaga diri untuk melihat dunia luar, dan itulah sebabnya Butet merasa harus menerima tatapan sinis dari orang –orang rimba makekal hilir. Bagi mereka ilmu yang dibawa Butet akan membawa anak – anak mereka membawa anak-anak mereka keluar dari rombong dan tak kembali, hingga Butet harus menerima keputusan pengadilan adat, untuk segera menutup sekolah dan pergi dari Rombong Bungo.
   
Spirit belajar Bungo agar dirinya tak dibodohi lagi oleh orang luar membuat Butet tak menyerah atas penolakan orang rimba. Atas jasa Bu Pariyan (Netta kd), Butet membuka sekolah di desa tempat berkumpulnya orang – orang suku rimba menjual hasil hutan.  Ide yang efektif untuk menarik lebih banyak anak- anak rimba untuk bersekolah termasuk Bungo .Hingga suatu kejadian membuatnya mulai mempercayai bahwa pensil dan kertas memang benar kutukan untuk orang rimba.
   
Film ini berulangkali menekankan bahwa ada yang salah dengan pemerintah (dan juga kita) dalam melihat orang rimba. Selama ini kita melihat mereka sebagai orang yang terbelakang, yang perlu dikasihani dan dibantu. Orang rimba tidak perlu orang luar, mereka hanya perlu hutan mereka untuk hidup, seperti halnya yang terjadi selama berabad-abad. Hingga perkebunan sawit, dan pembalakan liar merusak hutan mereka.Upaya pemerintah menetapkan hutan mereka sebagai kawasan taman nasional, membuat orang rimba tak boleh lagi mengambil hasil hutan atau berburu di hutan mereka. Hal ini membuat orang – orang rimba kehilangan rumah, kehilangan penghidupan mereka, hingga merubah kehidupan mereka. 
   
Cerita ini mengingatkan saya akan kehidupan suku Na’vi, penduduk asli Planet Pandora dari Film Avatar besutan James cameron. Bedanya, cerita orang rimba yang kehilangan kehidupannya ini nyata dan ada dinegara kita. Para pendatang masuk ke rumah mereka seakan memaksakan suatu kehidupan yang berbeda dari mereka, lalu dengan seenaknya kita cap kehidupan mereka terbelakang.
   
Sayangnya  di film ini kita hanya melihat persoalan suku rimba hanya dari satu padang Butet manurung seorang. Kekuatan suku rimba dan ekselerasinya dengan alam hanya hadir berupa pernyataan lisan dari Dr astrid & Butet, dengan minim visualisasi layaknya animasi pohon madu. 
  
Dengan iringan musik yang membawa atmosfer misterius, damai, nan eksotik, film Sokola rimba memilih  tampil sederhana, dan jujur. Film Sokola rimba berupaya menghindari dramatisasi berlebihan, walau film ini punya potensi untuk tampil dengan berbagai dramatisasi masalah. Idealisme sang produser dan sutradara ini membawa film ini menjadi  sangat segmented untuk bisa dikonsumsi sebagai hiburan. 
  
Dari segi cast, secara visual saya belum puas akan penampilan Prisia sebagai Butet, tetapi dia seakan punya daya tarik atau aura yang membuat kita susah untuk tidak suka kepada karakter Butet. Ada eksotisme alami dalam diri Prisia yang seperti selaras dengan kehidupan manusia rimba, membuat saya tak punya bayangan aktris lain selain Prisia nasution yang menjadi pilihan tepat memainkan karakter Butet manurung. 
  
Seperti halnya, Laskar pelangi, lagi – lagi Mira lesmana & Riri riza menggunakan aktor dari orang rimba asli untuk bermain dalam film ini. Saya bisa memaklumi bagaimana susahnya mengajari orang – orang awam  berakting, terlebih kepada orang yang tak mengenal film. Lagi – lagi Riri riza tahu, bagaimana mengatasi kekakuan mereka menjadi suatu hal yang natural. Penampilan Nengkabau, Beindah, dan Bungo diam-diam memikat dan selanjutnya mengikat saya secara emosional. Saya ikut tertawa saat mereka sudah lancar berhitung, dan bisa berbelanja. Saya juga tak kuasa menahan haru, melihat akhirnya Bungo bisa membaca surat Notaris yang selama ini selalu dibawa-bawanya. Surat yang dicap jempol oleh Tumenggung mereka tanpa satu pun dari orang desa tau isinya karena mereka tak bisa membacanya. Surat itu berisi ijin penebangan pohon-pohon di hutan tempat mereka menggantungkan hidup yang hanya ditukar oleh beberapa bungkus kopi dan beberapa kaleng biskuit!.  Sebuah perjanjian yang membulatkan tekad Bungo untuk belajar, bukan untuk keluar dari adat orang rimba, tetapi untuk membantu orang rimba beradaptasi menghadapi perubahan jaman.
  
 Nilai : 3 dari nilai max. 5